Sementara, Armenia menganggap wilayah itu sebagai bagian dari tanah air bersejarahnya dan mengatakan penduduk di sana membutuhkan perlindungannya.
Asatryan pindah ke Jerman 7 tahun lalu sebagai pelajar, menghindari wajib militer.
Dia tidak pernah bertugas di ketentaraan atau tidak memegang senjata sebelumnya dan mengatakan dia tidak bisa memberitahu atasannya bahwa dia akan pulang untuk berperang "Bos saya di Jerman tidak akan memahami orang yang ingin berperang," katanya.
“Namun, saya tahu bahwa kami, orang-orang Armenia, tidak akan bertahan selama berabad-abad tanpa memahami bahwa setiap orang harus berjuang untuk tanah airnya,” ujarnya.
Asatryan adalah salah satu dari ratusan relawan dari Argentina dan Amerika Serikat yang telah bergabung dengan VOMA Survival School dalam beberapa pekan terakhir.
Pendirinya, Vova Vartanov, yang bertempur dalam perang 1991-1994 di Nagorno-Karabakh, di mana sekitar 30.000 orang tewas.
Dia telah kembali ke garis depan sebagai pemimpin batalion sukarelawan saat perang meledak lagi di tanah airnya pada 27 September.
Melansir laporan Reuters terdapat puluhan pria dan wanita di kamp tersebut, dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mendapatkan pelajaran tentang cara menggunakan granat tangan dan menangkis serangan senjata.
Beberapa relawan sedang berlatih panjat tebing dengan menggunakan tali dan tembok beton tempat pembuangan sampah.
Sebelum pertempuran terakhir meletus pada 27 September, sekolah tersebut menarik 20 hingga 30 orang sekaligus untuk pelatihan dalam kesiapan perang baru.