Gridhot.ID - Wabah corona membuat Indonesia harus mengalami krisis ekonomi yang luar biasa.
Banyaknya bisnis yang gugur membuat PHK juga banyak terjadi di masyarkat.
Kemarin, Kamis (5/11/2020), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi di periode Juli 2020 hingga September 2020 minus 3,49% yoy.
Menurut hitungan BPS, secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia dari kuartal I hingga kuartal III 2020 mengalami kontraksi 2,03%.
Pada kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32% yoy akibat pandemi Covid-19.
Dengan demikian, sudah dua kuartal berturut-turut Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mengalami kontraksi.
Alhasil, resmilah ekonomi Indonesia masuk ke jurang resesi.
Namun, secara kuartalan, ekonomi RI sudah tumbuh sebesar 5,05%. Sri Mulyani menjelaskan, pertumbuhan kuartal III yang lebih baik ini ditunjukkan karena adanya proses perbaikan ekonomi atau pembalikan arah (turning point) dari aktivitas ekonomi nasional.
Dia juga mengatakan, pencapaian itu dengan konsekuensi ongkos yang lebih mahal, yakni defisit anggaran yang membesar.
Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan, sepanjang Januari-September 2020 defisit anggaran mencapai Rp 687,5 triliun.
Defisit anggaran ini setara dengan 4,16% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Jika dibandingkan realisasi pada periode yang sama di 2019 yakni Rp 252,41 triliun, defisit Januari-September 2020 tumbuh 170,2%.
Dengan ongkos yang mahal itu, Menkeu memprediksi, ekonomi pada Juli-September 2020 akan berada di kisaran minus 2,9% hingga minus 1%.
Harapannya lebih baik daripada realisasi pertumbuhan ekonomi pada April-Juni 2020 yang kontraksi 5,32%.
“Kuartal III lebih baik dari kuartal II. Kuartal III kembali recovery, fungsi stabilisasi dari APBN bersama dengan yang lain untuk menanggulangi pukulan demand dan supply,” kata Sri Mulyani dalam acara Simposium Nasional Keuangan Negara (SNKN) 2020, Rabu (4/11).
Dampak resesi
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira pun mewanti-wanti akan dampak resesi ini terhadap masyarakat Indonesia. Ia melihat, ada beberapa dampak langsung yang akan dirasakan oleh masyarakat.
Pertama, turunnya pendapatan di kelompok masyarakat menengah dan bawah secara signifikan. Dengan menurunnya pendapatan, maka dikhawatirkan jumlah orang miskin akan semakin banyak.
Kedua, penduduk kota bisa saja berkurang, tetapi sebaliknya, penduduk desa akan bertambah.
“Pasalnya, desa akan menjadi tempat migrasi pengangguran dari kawasan industri ke daerah-daerah karena gelombang PHK masal,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id.
Ketiga, resesi juga akan berimbas pada mereka yang sedang mencari pekerjaan. Angkatan kerja baru akan makin sulit bersaing, karena jumlah lowongan pekerjaan menurun. Sementara, perusahaan kalaupun akan melakukan proses rekruitmen, akan memprioritaskan karyawan yang sudah berpengalaman.
Keempat, ke depan konsumsi rumah tangga bisa saja tertahan. Pasalnya, masyarakat akan cenderung berhemat untuk membeli barang sekunder dan tersier, sehingga fokusnya hanya pada barang kebutuhan pokok dan kesehatan saja.
Kelima, konflik sosial di masyarakat berpotensi untuk meningkat karnea ketimpangan yang semakin lebar.
“Orang kaya bisa tetap survive, selain karena aset mereka masih cukup, juga karena digitalisasi. Sementar akelas menengah rentan miskin tidak semua dapat melakukan WFH, apalagi saat pendapatan juga menurun,” tandasnya.
Artikel ini telah tayang di Kontan dengan judul Indonesia resmi resesi, ini 5 dampaknya terhadap masyarakat.
(*)