Salah satunya adalah pembelian sistem rudal Harpoon senilai 2,37 miliar dollar AS, atau sekitar Rp 34 triliun, dilansir Newsweek Rabu (4/11/2020).
Kemudian pada Selasa (3/11/2020), Kementerian Luar Negeri AS menyetujui penjualan empat drone Reaper dengan harga 600 juta dollar AS (Rp 8,6 triliun).
Ini merupakan transaksi jual beli senjata kesepuluh yang terjadi antara Taiwan dengan AS sejak Presiden Donald Trump berkuasa pada 2017. Berdasarkan UU Relasi Taiwan, Washington berkewajiban untuk menyediakan senjata yang membuat pulau itu bisa mempertahankan diri.
Tetapi berdasarkan argumentasi Yeh, rudal Harpoon yang bisa menjangkau jarak hingga 241 kilometer bisa dianggap senjata agresif. "Pembelian terbaru terhadap Harpoon jelas mengancam kapal induk milik China dan upaya mereka untuk mengakses kawasan Pasifik," kata dia.
Mantan wakil komandan di angkatan laut itu menuturkan, pemerintahan Tsai dan Trump secara sengaja sudah "memprovokasi" Beijing. Yeh mengeklaim jika Harpoon itu sampai didatangkan dan dipasang di lepas pantai, "Negeri Panda" jelas bakal bertindak karena mereka merasa terancam.
Dia menjelaskan dinamika di Selat Taiwan kini bukan lagi masalah strategi, namun psikologi. Dia memprediksi Beijing bakal mengambil tindakan. Sang jenderal berkata politisi boleh mengucapkan sesuatu yang ambigu. Namun tidak dengan dunia militer, di mana dia takut perang bisa terjadi kapan saja.
Menteri Pertahanan Yen De-fa menyatakan, mereka bisa menggerakkan sekitar 450.000 personel jika menghadapi perang dengan China di selat. Yeh mencatat jumlah tersebut mencakup 185.000 tentara aktif dan 260.000 serdadu cadangan.
Tapi dalam pandangannya, mereka masih kalah jumlah. "Taiwan hanya bisa bertahan selama dua minggu. Apakah kita mempunyai cukup pasukan? Kita harus mengajukan langkah hukum jika ingin kompetitif," paparnya.
Source | : | Kontan.co.id |
Penulis | : | None |
Editor | : | Nicolaus |
Komentar