Jumlahnya sebesar Rp7,5 juta sebagai pengganti biaya yang telah dikeluarkan Penggugat untuk membiayai hidup Tergugat selama mereka berdua menjalin asmara.
Dari putusan perkara ini dapat ditarik kaidah hukum bahwa ‘dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini, perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum karena melanggar kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat’.
Juga dapat diketahui bahwa ini bukan putusan pertama yang menghukum pelaku yang ingkar janji menikahi.
Hakim agung merujuk pada yurisprudensi No. 3191K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986. Dalam putusan ini, hakim agung menyatakan perbuatan Tergugat asli yang tidak memenuhi perjanjian untuk melangsungkan perkawinan dikualifikasi sebagai pelanggaran norma kesusilaan dan kepatuhan dalam masyarakat, sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat asli.
Menurut Prof. Sudargo, putusan Mahkamah Agung ini membuka jalan secara hukum perdata untuk menuntut pihak yang tidak menepati janji menikahi.
Sebab sebenarnya janji untuk menikahi tidak dapat membawa penuntutan ganti kerugian.
Hal itu lantaran pasal 58 BW menyebutkan “janji-janji kawin tidak menimbulkan hak guna menuntut di muka hakim akan berlangsungnya perkawinan, pun tidak guna menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga, akibat kecederaan yang dilakukan terhadapnya. Segala persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal”.
Gugatan ganti rugi bisa diajukan jika terbukti sudah ada pemberitahuan akan kawin kepada petugas (Kantor Catatan Sipil) diikuti pengumuman kawin oleh petugas tersebut.
Namun setelah ada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mekanisme perkawinan menurut hukum Barat itu tak berlaku lagi.
Pasal 29 UU Perkawinan memperkenankan kedua pasangan membuat perjanjian tertulis sebelum perkawinan dilangsungkan.