Namun perjanjian itu tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. UU Perkawinan tak menyinggung sama sekali mengenai janji menikahi yang kemudian diingkari.
Meskipun sudah ada yurisprudensi, tak semua gugatan atas janji menikahi yang diingkari diterima oleh hakim.
Dalam salah satu putusan tertanggal 23 Februari 2013, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Penggugat asal.
Dalam petitumnya di tingkat pertama, Penggugat asal meminta majelis hakim menyatakan Tergugat telah ingkar janji untuk menikahi Penggugat.
Namun argumentasi Penggugat ditepis majelis. Majelis hakim agung beralasan Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya telah menyerahkan keperawanan kepada Tergugat asal setelah Tergugat asal berjanji akan menikahi Penggugat.
Dalam bukunya Himpunan Jurisprudensi Indonesia yang Penting untuk Praktek Sehari-Hari (Landmark Decisions), Sudargo Gautama mencatat bahwa putusan 8 Februari 1986 itu mungkin yang pertama kali di Indonesia masalah tidak menepati janji untuk melangsungkan perkawinan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, dan diikuti keharusan membayar ganti rugi.
(*)