Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Niatnya Mulia, Penemu Vaksin AstraZeneca Tak Mau Kaya Raya dari Vaksin Temuannya, Dapat Standing Ovation di Turnamen Tenis Wimbledon hingga Ungkap Fakta Tak Terduga

Desy Kurniasari - Senin, 19 Juli 2021 | 11:42
Prof Sarah Gilbert, sang penemu vaksin AstraZeneca untuk melawan virus corona
inews.co.uk

Prof Sarah Gilbert, sang penemu vaksin AstraZeneca untuk melawan virus corona

GridHot.ID- Sosok penemu vaksin AstraZeneca belakangan tengah menjadi sorotan.

Melansir Wartakotalive, Prof Sarah Gilbert, sang penemu vaksin AstraZeneca untuk melawan virus corona kini telah mendunia.

Meski demikian, ia tetaplah ilmuwan yang rendah hati.

Baca Juga: Model Cantik Banting Stir Jadi Pedagang Es Degan Karena Pandemi Covid-19, Layani Pembeli yang Ingin Foto Bersama hingga Bongkar Fakta ini

Guru Besar Universitas Oxford Inggris ini hanya tersenyum saat para penonton tenis Wimbledon memberikan standing ovation sebagai penghormatan kepada dirinya.

Pasalnya, dilansir dari Kompas.com, Dame Sarah Gilbert, salah satu ilmuwan di balik terciptanya vaksin AstraZeneca, mengaku enggan mengambil penuh hak paten agar harga vaksin Covid-19 ciptaannya bisa murah.

"Saya ingin buang jauh-jauh gagasan itu (mengambil hak paten penuh), agar kita bisa berbagi kekayaan intelektual dan siapa pun bisa membuat vaksin mereka sendiri," ujar wanita berusia 59 tahun itu ke parlemen Inggris, dikutip dari Reuters, 11 Maret 2021.

Baca Juga: 19 Kepala Daerah Kena Semprot Mendagri, Disebut Punya Duit Tapi Tak Dipakai untuk Atasi Covid-19 Sampai Insentif Nakes Tak Terealisasi, Ini Faktanya!

Kala itu sedang ada pembahasan tentang siapa pemegang hak paten vaksin Covid-19 nantinya.

Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN) yang mendukung lebih banyak produksi untuk negara-negara miskin, juga sepakat dengan Prof Gilbert.

"Bukan kekayaan intelektual tunggal yang bisa membuat produk (vaksin) ini," ujar Presiden DCVMN, Sai Prasad, yang juga petinggi di produsen vaksin India, Bharat Biotech.

Sejalan dengan pemikiran Sarah Gilbert, AstraZeneca pun meneken persetujuan dengan Oxford untuk tidak mengambil profit dari vaksin corona buatan mereka.

Baca Juga: Karyawan Swasta Dapat Gaji dari Pemerintah Selama Lockdown, Brunei Darussalam Sukses Kendalikan Wabah Covid-19 Berkat Faktor-faktor Mengejutkan Ini

"Tudingan bahwa kami menjual ke negara lain untuk menghasilkan lebih banyak uang tidak benar, karena kami tidak mengambil profit di mana-mana," ungkap CEO AstraZeneca, Pascal Soriot, dikutip dari Health Policy 28 Januari 2021.

"Itu kesepakatan yang kami miliki dengan Universitas Oxford."

AstraZeneca menyatakan, mereka baru akan menentukan harga setelah pandemi Covid-19 usai, menurut keterangan juru bicaranya kepada Kaiser Health News, 25 Agustus 2020.

Baca Juga: 6 Hari Jelang Upacara Pembukaan, Desa Tuan Rumah Olimpiade Tokyo Justru Dikabarkan Terpapar Covid-19, Bakal tetap Diselenggarakan?

"(Kami) berkomitmen memastikan akses yang adil, secara global," ujarnya.

Keputusan ini berdampak pada harga vaksin AstraZeneca yang lebih murah dari kompetitor mereka.

Mengutip artikel Kompas.com pada 12 Desember 2020, berikut adalah perbandingan kisaran harga-harga vaksin virus corona per dosis yang kini telah digunakan.

  • Oxford-AstraZeneca: Rp 56.000 per dosis
  • Johnson & Johnson dan Sputnik V: Rp 141.000
  • Sinovac: Rp 200.000 per dosis
  • Novavax: Rp 226.000 per dosis
  • Pfizer-BioNTech: Rp 283.000 per dosis
  • Moderna: Rp 526.000 per dosis
Baca Juga: Kena Imbas Pandemi Covid-19 Hingga Membuat Pendapatannya Turun Drastis, Penyanyi Rossa Sampai Rela Lakukan Hal Ini Demi Gaji Karyawannya

Meski yang termurah, efikasi atau kemanjuran vaksin AstraZeneca cukup tinggi, termasuk mencegah infeksi Covid-19 varian Delta hingga 92 persen.

Lebih dari 600 juta dosis vaksin AstraZeneca telah dipasok ke 170 negara di seluruh dunia, termasuk 100 negara lebih yang tergabung dalam COVAX. Publik pun memberi apresiasi atas hasil kerja keras Sarah Gilbert.

Jelang laga pembuka turnamen tenis akbar Wimbledon 2021 di Inggris, ia mendapat standing ovation meriah dari para penonton.

Baca Juga: Beraksi Layaknya Begal, Pelaku Pengambilan Jenazah Pasien Covid-19 di Bondowoso Nekat Hentikan Ambulans untuk Ambil Peti dan Usir Petugas

Gilbert termasuk di antara sejumlah "individu inspiratif" yang diundang untuk menonton pertandingan hari pertama di zona kerajaan Inggris.

Sekilas tentang Sarah Gilbert

Ibu tiga anak tersebut lahir di Kettering, Northamptonshire, Inggris, pada April 1962.

Ayahnya adalah pekerja di perusahaan sepatu, sementara ibunya guru bahasa Inggris dan anggota opera amatir lokal.

Sarah Gilbert mengenyam pendidikan sampai jenjang doktoral di University of Hull Inggris, kemudian mempelajari manipulasi ragi pembuatan bir, lalu beralih kerja ke bisang kesehatan manusia.

Baca Juga: Dengan Nada Tegas, Jokowi Bisa Ngamuk Jika Ada Faskes yang Kepergok Punya Stok Vaksin Covid-19 di Tempatnya: Sekali Kirim Habiskan!

BBC menuliskan, Gilbert tidak pernah berniat terjun ke dunia spesialis vaksin.

Ia tidak sana berkecimpung di bidang tersebut setelah pertengahan 1990-an bekerja di Universitas Oxford meneliti genetik malaria, dan berlanjut mengerjakan vaksin penyakit tersebut.

Sarah Gilbert tidak sendirian menciptakan vaksin AstraZeneca. Ia bekerja dengan para ilmuwan lain termasuk koleganya di Oxford, Catherine Green.

Baca Juga: Salah Kaprah Jika Diberikan ke Pasien Covid-19 Saat Kritis, Dokter Ahli Terapi Plasma Konvalesen Beberkan Aturan Donor yang Tepat

Mereka berbagi tugas. Sarah Gilbert memimpin tim pengembangan awal, sedangkan Catherine Green mengurusi produksi batch pertama untuk uji klinis.

The Guardian mewartakan, duet Gilbert-Green juga menelurkan buku berjudul Vaxxers yang mengisahkan lika-liku pembuatan vaksin Covid-19 Oxford-AstraZeneca.(*)

Source :Kompas.comWartakotalive.com

Editor : Grid Hot

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

Popular

Tag Popular

x