Dia baru-baru ini menceritakan bagaimana mereka terlihat oleh pesawat pengintai sehari sebelum serangan dan bagaimana perasaan ketakutan di antara para kru.
“Pesawat-pesawat tempur menembakkan senapan mesin dan pembom torpedo berbaris. Kemudian, yang tak terhindarkan, saat kapal terangkat sedikit keluar dari air," kata Leonard yang berusia 90-an.
Tanpa tanda-tanda penyelamatan, para penyintas membangun rakit untuk berpegangan dan selama beberapa hari berikutnya menggunakannya sebagai dermaga untuk memperbaiki perahu yang penuh peluru dan setengah tenggelam.
Leonard adalah salah satu dari 29 pria yang dipilih untuk mendayung kapal berjuluk 'pemburu paus' itu menuju Darwin, sementara yang lain tetap berada di rakit.
Dia menceritakan kesunyian yang luar biasa dan kesedihan mendalam dari perpisahan mereka.
Hanya ada sedikit makanan dan air yang berbahaya bagi 'pemburu paus'. Setiap hari berlalu, orang-orang yang bertahan pun semakin menderita kelaparan dan kehausan, juga mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan fisik dan mental.
Korban selamat yang tersisa berpegangan pada rakit dan menunggu penyelamatan.
Akhirnya pada hari ketujuh, sebuah pesawat RAAF Catalina menemukan rombongan yang mendayung kapal.
Komentar