Ia menyebut, vaksin booster yang ditanggung APBN akan diberikan ke 83,1 juta orang dengan kebutuhan vaksin sebanyak 92,4 juta dosis, termasuk cadangan sekitar 10 persen.
Sementara itu, vaksin booster yang tidak ditanggung APBN akan diberikan kepada 125,2 juta orang dengan kebutuhan vaksin sebanyak 139 juta dosis.
Budi mengatakan, semua vaksin booster harus mendapatkan izin dari World Health Organization dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Selain itu, ia berharap vaksin booster juga di-review dan direkomendasikan oleh Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI).
Baca Juga: Nekat Belum Vaksin Covid-19, Gaji dan Tunjangan ASN dan Perangkat Desa di Wilayah Terancam Ditahan
"Memang proses-proses perizinan dari WHO, BPOM, dan ITAGI masih bergerak, karena penelitian mengenai booster-nya pun masih berjalan," kata Budi.
"Tapi kalau ada vaksin-vaksin yang ingin masuk sebagai booster, mereka harus melakukan research atau uji klinis dan mendapatkan approval dari BPOM dan WHO serta direkomendasikan oleh ITAGI," ucap Budi.
Berdasarkan rencana, semua fasilitas kesehatan nantinya dapat menyediakan layanan vaksinasi booster, kecuali puskesmas dan kantor-kantor Kementerian Kesehatan.
Sebab, puskesmas dan kantor Kementerian Kesehatan akan diprioritaskan untuk melaksanakan vaksinasi rutin di luar vaksinasi Covid-19.
"Pengalaman kami, begitu kita genjot vaksinasi Covid-nya, vaksianasi rutinnya tertinggal, padahal ini penting utk kesehatan anak-anak kita ke depan. Jadi kami akan minta puskesmas biar konsentrasi ke vaksinasi rutin," kata Budi.
Adapun harga batas atas dari produk dan layanan vaksinasi booster yang non-APBN akan ditentukan oleh pemerintah.(*)