GridHot.ID -Presiden kedua Indonesia Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008.
Soeharto yang menjabat sebagai Presiden Indonesia selama 32 tahun ini meninggal setelah menderita sakit berkepanjangan.
Soeharto meninggal di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP).
Melansir TribunSolo.com, mendiang Soeharto dimakamkan di Astana Giribangun, yang berada di Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar.
Diketahu, pada Kamis (27/1/2022) kemarin merupakan peringatan14 tahun kepergian sang jenderal bintang lima.
Namun demikian, tak atmpak ada acara khusus yang digelar pihak keluarga di Astana Giribangun.
Pantauan lapangan TribunSolo.com hingga pukul 17.15 WIB, juga belum ada pihak keluarga yang datang untuk berziarah.
Melansir Kompas.com, terkait kabar meninggalnya Soeharto pada 27 Januari 2008 ternyatapertama kali datang bukan dari keluarga, dokter, atau dari petinggi negeri.
Kabaritu kali pertama disiarkan oleh Kepala Polsek Kebayoran Baru berpangkat komisaris polisi bernama Dicky Sondani.
Sebagai Kepala Kepolisian Sektor Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ketika itu, Dicky menjadi penanggung jawab keamanan di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), tempat Pak Harto dirawat.
Sabtu, 26 Januari 2008 malam, sehari sebelum Soeharto meninggal, Dicky pulang ke kantornya di Polsek Kebayoran Baru.
Ia hendak beristirahat setelah seharian berada di RSPP yang hanya berjarak satu kilometer.
Saat itu, Dicky merasa sedikit lelah lantaran dua pekan lamanya tidak pulang ke rumah.
Ia harus siaga di RSPP dan tetap mengawasi wilayah hukumnya.
Namun, malam minggu itu, Dicky bisa sedikit bernapas lega.
Sebab, ia baru bertemu dengan dokter Pak Harto yang menyatakan kondisi presiden ke-2 RI itu membaik.
"Dia bilang kondisi Pak Harto meningkat dan semakin baik. Bahkan dia memperkirakan hari Selasa itu sudah bisa duduk bagus," tutur Dicky saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (26/1/2016) malam.
"Dokternya bercanda sama saya, besoknya kan hari Minggu, kalau begitu kita bisa istirahat, bisa kumpul-kumpul bersama keluarga, ya bisa memaksimalkan hari Minggu-lah," lanjut dia.
Meski dokter berkata demikian, Dicky memutuskan untuk tetap tidak pulang ke rumah dan memilih tidur di kantornya.
Keesokan paginya, Minggu, 27 Januari 2008, istri Dicky menghampiri ke Mapolsek.
Dia hendak mengajak Dicky untuk pergi ke pesta pernikahan saudaranya.
Merasa pengamanan di RSPP sudah mulai longgar, Dicky mengiyakan ajakan istrinya.
Ia mengganti baju polisi dengan kemeja batik berlengan panjang.
Namun, tak lama, salah seorang dokter kepresidenan menghubunginya via ponsel.
Dokter itu memberi tahu bahwa kondisi Pak Harto kembali memburuk.
"Wah, baju batik saya buka lagi. Saya minta maaf ke istri kalau saya enggak bisa ikut ke kondangan," kenang Dicky.
"Untungnya, istri saya memahami dan tidak menuntut banyak. Saya langsung meluncur lagi ke RSPP," tuturnya.
Sekitar pukul 10.00 WIB, Dicky tiba di RSPP.
Dokter kembali mengatakan bahwa kondisi Pak Harto semakin menurun.
Bahkan, dokter menyebut wafatnya Pak Harto tinggal menunggu waktu.
"Saya ingat sekali saya lima kali bolak-balik, keluar masuk rumah sakit. Nah, pas masuk ke rumah sakit yang terakhir, dokter menyatakan bahwa Pak Harto sudah meninggal dunia," kata dia.
Tak bisa bohong Mengetahui kabar meninggalnya Soeharto, Dicky keluar dari rumah sakit lagi untuk mempersiapkan personel pengamanan tambahan.
Dia juga berkoordinasi dengan TNI yang turut mengirimkan pasukan.
Saat itu, dia adalah perwira polisi tertinggi yang ada di RSPP.
Rupanya, gerak-gerik Dicky terpantau puluhan awak media yang menunggu di rumah sakit.
Dicky merasa para wartawan curiga melihat dirinya yang sibuk berkoordinasi melalui handy talkie untuk menambah personel.
"Mungkin ada sekitar 100 wartawan tiba-tiba mengerubuti saya, bertanya, ada apa, Pak? Kok ada personel tambahan segala," kata Dicky.
Dicky pun mengaku tak bisa berbohong. Di situlah dia menyampaikan bahwa Pak Harto telah tiada.
"Ya, saya jujur saja. Saya bilang, Pak Harto meninggal dunia pukul 13.10 WIB. Saya tidak bisa membohongi publik saat itu. Karena memang saya tahu dari dokternya langsung," tuturnya.
Dicky merasa semua terjadi begitu cepat. Kabar duka mantan presiden yang telah berkuasa selama 32 tahun itu bukan datang dari keluarga atau petinggi negeri, melainkan dari mulut seorang Kapolsek Kebayoran Baru berpangkat kompol.
Meski begitu, pernyataan Dicky tidak berimbas pada teguran dari keluarga Soeharto atau atasannya.
Tetapi, ia juga tak mendapat apresiasi. Karier dan kehidupan Dicky selanjutnya berjalan apa adanya.
Perjalanan hidup Empat belas tahun setelah peristiwa itu berlalu, Dicky masih menjalani kehidupannya sebagai perwira polisi.
Namun, ia tidak lagi bertugas di Jakarta. Dicky sempat dipindahkan ke Aceh, Banten, Kepulauan Riau, hingga Sulawesi Selatan.
Saat ini, dengan pangkat Komisari Besar Polisi (Kombespol), Dicky menjadi Direktur Lalu Lintas Polda Aceh.
Meski peristiwa meninggalnya Pak Harto telah lama terjadi, detik-detik itu tidak bisa hilang dari ingatan Dicky.
Ia merefleksikan pengalaman tersebut sebagai bagian dari jalan hidup yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
"Jujur, momen itu sungguh di luar naluri saya sebagai perwira Polri. Harusnya yang menyampaikan itu ya tingkat yang lebih tinggi. Minimal jenderallah," kata Dicky.
"Kalau di sana ada Dandim, Pangdam, atau Panglima TNI, harusnya mereka yang mengumumkan. Tetapi, situasi saat itu ya mengharuskan saya begitu," lanjutnya.
Dicky mengaku, kala itu dirinya tak percaya menjadi orang pertama yang mengumumkan kepergian Pak Harto.
"Setelah mengumumkan pertama kali Pak Harto ke wartawan, saya sempat enggak percaya. Apa enggak salah ini saya ngomong begini? Tetapi, sekarang saya menganggap bahwa sepertinya saat itu memang sudah diatur Tuhan Yang Maha Esa," kata Dicky.
"Momen itu saya anggap menjadi bagian perjalanan hidup saya sebagai perwira polisi," pungkas dia.
(*)