Di dalamnya amina menulis,"Yang paling membuat saya khawatir akan tafsir 'tradisional' adalah tafsir tersebut secara eksklusif ditulis oleh para pria. Itu berarti pria dan pengalaman pria dilibatkan (di dalam tafsir), dan wanita serta pengalaman wanita bisa jadi tidak diikutsertakan, atau diintrepertasikan lewat visi, perspektif, dan kehendak pria".
"Banyak pemikiran telah dicurahkan pada ilmu tafsir. Saya tidak mengatakan semuanya salah, dan saya lah satu-satunya yang mengartikan Quran dengan baik, tidak. Maksud saya, saya tidak bisa melihat, di dalam literatur itu, kenyataan hidup saya sebagai wanita Amerika keturunan Afrika diartikulasikan dengan kedalaman yang sama dengan seorang pria," kata amina lagi.
Nama amina lebih dikenal luas pada 2005 setelah ia memimpin ibadah salat Jumat untuk jemaah laki-laki dan perempuan di New York, Amerika Serikat.
Kala itu, ia mendapati dirinya di tengah pro dan kontra. Namun hal itu tidak menghentikannya untuk melakukan hal yang sama pada 2008 di sebuah masjid di Oxford, Inggris.
"Saya penuh kasih sayang, saya senang disayangi, dan tentunya saya menyayangi Allah tercinta. Jadi, tidak, saya tidak berniat menjadi kontroversial. Namun, saya memahami bahwa aspek-aspek tertentu [seperti] kesejahteraan manusia harga diri, keadilan, rasa hormat, saling timbal balik, adalah hal-hal tanpa syarat."
"Jika Anda memberikan syarat pada wanita atau non-biner untuk mendapatkan keutuhan diri sebagai manusia, saya cenderung teguh pada pendirian saya sebagai oposisi akan hal itu," jelas ia.
Meski motivasi amina di balik penulisan Quran and Woman sarat akan nilai kesetaraan gender, ia mengaku kala itu tidak memandang dirinya sebagai seorang feminis, bahkan cenderung menolak label tersebut. Begitu pun ketika ia memimpin ibadah salat Jumat.
"Saya merasa tidak memerlukan hal lain selain Islam dan terus berkembang, belajar, dan memeluk Islam," kata amina.
Ia baru menyambut istilah feminis pada 2009, dalam sebuah peluncuran pergerakan global muslim untuk kesetaraan dan keadilan bernama Musawah.
(*)