Penyelesaiannya jauh lebih rumit dari konflik di Aceh.
Pertama, Papua terdiri dari banyak suku.
Keberagamannya jauh lebih banyak daripada Aceh.
Kedua, di Aceh ada tokoh yang disebut Wali Nangroe yang menjadi ‘primus inter pares’ atau tokoh pemersatu.
Sedangkan di Papua tidak ada.
Para kepala suku di Papua, memiliki otonomi sendiri untuk mengendalikan sukunya masing-masing.
"Hal ini yang saya lihat ada di dalam KKB Papua.
Para anggota KKB Papua hanya memiliki hubungan koordinatif, tapi tidak ada yang memiliki kewenangan otoritatif, dimana satu kelompok memiliki pengaruh besar dan bisa menguasai kelompok lainnya," kata Arsul.
Padahal, lanjutnya, keberadaan tokoh pemersatu ini dalam penyelesaian konflik di Papua menjadi faktor yang sangat penting.
Selain kiprah tokoh pemersatu, penyelesaian konflik juga harus dilakukan dengan melakukan pendekatan penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dan dibantu TNI, yang didalam ilmu tentang keamanan di sebut sebagai Military Aid to the Civil Authorities (MACA) atau konsep perbantuan, bukan penegakan militer atau perang.
"Sebab, saya khawatir jika aksi yang dilakukan KKB direspon pendekatan penegakan militer, maka isu pemisahan Papua dari NKRI akan semakin menguat di level internasional.