GridHot.ID -Kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J masih menjadi sorotan hingga sekarang.
Richard Eliezer atau Bharada E sempat disebut tumbal dalam kasus tersebut.
Dilansir dari Kompas.com, setelah Bharada E ditetapkan tersangka dalam kasus kematian Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo, cuitan seputar Bharada E menjadi salah satu trending topik di Twitter pada 4 Agustus 2022 lalu.
Publik juga banyak men-twitkan soal penetapan tersangka Bharada E.
Sejumlah warganet di Twitter menyebut bahwa Bharada E hanya tumbal.
"Bharada E jadi tumbal," tulis warganet ini.
"Kasian Bharada E. Di jadikan tumbal sama jendral2," demikian salah satu twit yang dituliskan warganet.
Dalam kasus tersebut, Bharada E disebut-sebut sebagai tumbal karena terpaksa menembak Brigadir J karena diperintah Ferdy Sambo, di mana dirinya bertugas sebagai ajudan.
Dirinya tidak memiliki motif pribadi apa pun saat menarik pelatuk senjata.
Bharada E terjebak dalam skenario pembunuhan berencana yang tengah disusun oleh Ferdy Sambo, Putri Candrawathi (istri Ferdy Sambo), dan Bripka RR.
Dilansir dari Intisari Online, sebelum ada nama Bharada E sebagai tumbal kasus pembunuhan yang melibatkan anggota kepolisian, ternyata Indonesia punya Bripda Djani.
Sosok bernama lengkap Djani Maman Sujarman ini menjadi tumbal dalam kasus kematian mahasiswa ITB Rene Louis Conrad.
Kapolri saat itu, Jenderal Hoegeng Imam Santoso secara gamblang menyebut taruna Akabri Kepolisian (kini Akpol) sebagai pelakunya.
Sayang, meski sudah dibantu Adnan Buyung Nasution, Djani yang secara kebetulan juga berasal dari korps Brimob, seperti Bharada E, tetap dijatuhi vonis bersalah.
Kasus ini melibatkan sejumlah pihak yang kelak menjadi petinggi di Kepolisian Indonesia, mulai dari Kapolda Metro Jaya hingga Kapolri.
Adnan sampai menyebut Djani sebagai contoh orang kecil yang dikorbankan untuk kepentingan sebuah struktur kekuasaan yang jauh lebih besar.
Maklum, kasus ini sendiri berawal dari kebijakan kontroversial Soeharto di masa-masa awal kekuasaannya sebagai orang nomor 1 di Indonesia.
Berikut ini kisahnya.
Kasus 'penumbalan' seorang anggota polisi, lebih tepatnya anggota Brimob, dalam kasus pembunuhan juga pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1972, atau 50 tahun silam.
'Penumbalan' ini berawal dari gesekan antara pemuda, khususnya mahasiswa, dengan aparat kepolisian.
Maklum, di periode awal kekuasaannya, Soeharto melarang pria berambut gondrong.
Sebuah kebijakan yang saat di lapangan dieksekusi oleh apara kepolisan, berikut para tarunanya, dengan kerap merazia dan menggunting langsung rambut dari pemuda gondrong.
Tentu saja hal ini mendapat tentangan keras dari para mahasiswa yang menganggap kebijakan tersebut memerkosa hak-hak azazi setiap orang.
Di tengah polemik yang kian memanas antara mahasiswa dan kepolisian (khususnya taruna), tiba-tiba muncul ide untuk melangsungkan pertandingan sepak bola persahabatan.
Tepat pada 6 Oktober 1970 di tengah kampus ITB, pertandingan antara mahasiswa ITB dan taruna Akabri Kepolisian yang berasal dari Sukabumi.
Keunggulan 2-0 yang diraih tim ITB membuat para mahasiswa semakin percaya diri melontarkan sindiran-sindiran pedas kepada para taruna Akpol.
Bentrokan pun kemudian tak terhindarkan hingga sempat memicu sebuah suara tembakan, sebuah keadaan yang membuat pihak ITB murka karena melanggar kesepakatan untuk tidak membawa senjata.
Para taruna Akpol tersebut pun diusir. Melengkapi kemuraman mereka hari itu setelah kalah dalam pertandingan dan disindir habis-habisan oleh para mahasiswa.
Dalam perjalanan pulang, di sekitar Jalan Ganesha, iring-iringan taruna Akpol itu berpapasan dengan seorang mahasiwa ITB bernama Rene Louis Conrad.
Rene yang saat itu sedang mengendarai Harley Davidson disebut-sebut diludahi oleh salah seorang di dalam bus para taruna.
Tak ayal hal tersebut memicu amarah Rene yang kemudian menantang para taruna tersebut turun.
Bak lupa posisi mereka sebagai calon pengayom masyarakat, para taruna akpol tersebut meladeni tantangan Rene dengan mengeroyoknya.
Tak habis sikap pengecut dengan mengeroyok satu orang mahasiswa, salah seorang Taruna Akpol kemudian mengunakan senjata apinya untuk menembak dan menewaskan Rene.
Persitiwa ini jelas mencoreng wajah Polri yang kala itu dipimpin oleh sosok kharismatik, Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso.
Ketegasan dan kejujuran Hoegeng pun segera mengusut kasus yang sempat membuat polisi dan para taruna dilarang keluar dari barak tersebut.
Hoegeng yang yakin bahwa pelakunya adalah salah seorang taruna Akpol pada akhirnya tak bisa berbuat lebih karena keburu dilengserkan oleh Suharto pada 2 Oktober 1971.
Tak lama setelah itu, sebuah kejanggalan terbesar pun muncul, Brigadir Polisi Djani Maman Surjaman tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka.
Djani sama sekali tidak terlibat dalam aksi pemukulan yang dilakukan para juniornya, apalagi sampai menembak.
Namun, apa daya, kekuatan besar demi melindungi putra-putra 'petinggi' yang adal dalam barisan para taruna tersebut terlalu kuat.
Djani yang berasal dari korps Brimob kemudian dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan pada 1972 dengan dalih melakukan kelalaian hingga membuat Rene Louis Conrad meninggal.
Kini, sejarah bak berulang, setengah abad setelah tragedi 'penumbalan' Bripda Djani, seorang anggota Brimob bernama Bharada E kembali 'ditumbalkan' untuk kasus pembunuhan.
Lagi-lagi melibatkan 'petinggi' kepolisian. (*)