"Rakyat saya selalu menolak pemaksaan Jakarta, dari 'Tindakan Tanpa Pilihan' pada tahun 1969 hingga apa yang disebut 'Otonomi Khusus' yang menguasai kita hari ini," ungkap Benny Wenda .
Selanjutnya, Benny Wenda menyampaikan pernyataan lainnya di bawah ini:
"Indonesia tahu orang Papua Barat tidak akan pernah menerima pemerintahan kolonial mereka. Sebaliknya, mereka harus menegakkannya di laras pistol."
Pembunuhan yang terjadi di Kabupaten Mimika, lanjut Benny Wenda, mengungkap rasisme di jantung pemerintahan Indonesia.
Setelah menembak keempat pria itu, tentara memenggal kepala dan kaki mereka, memasukkan mereka ke dalam karung, dan membuangnya ke sungai desa.
"Bagaimana orang bisa dilihat sebagai manusia jika diperlakukan seperti ini? Indonesia memandang kami primitif, sebagai 'monyet'. Mereka selalu ingin membuat kita 'turun dari pohon'," ujarnya.
Menurut Benny Wenda, "ini bukan pertama kalinya sungai kami digunakan sebagai makam kami".
Pada tahun 2020, Pendeta Yeremia, Zanambani, seorang pemuka agama tercinta di Kabupaten Intan Jaya, disiksa dan dibunuh oleh militer Indonesia.
"Setelah itu, tentara membunuh dua anggota keluarga Pastor Zanambani, membakar tubuh mereka dan membuang abunya ke sungai untuk menyembunyikan barang bukti," paparnya.
"Sejak 2019, kami telah melihat semakin banyak contoh kebrutalan sistematis Indonesia di Papua Barat. Kami telah melihat mahasiswa Papua dibunuh oleh regu kematian Indonesia, bayi ditembak dan dibunuh, warga sipil di Nduga dieksekusi dalam operasi ala militer. Sejarah pemerintahan Indonesia di Papua Barat tertulis dalam darah rakyatku."
Meskipun polisi Indonesia telah menangkap 6 pelaku yang bertanggung jawab atas kejahatan ini, kata Benny Wenda, pihaknya tahu dari kematian Theys Eluay bahwa tentara yang didakwa dengan pembunuhan di luar proses hukum secara teratur menerima hukuman ringan - dan sering disambut sebagai pahlawan oleh atasan militer mereka.