Laporan Wartawan Gridhot.ID - Akhsan Erido Elezhar
Gridhot.ID - Yafet Jorgern Rompis (54) yang diduga menjadi korban pembunuhan oleh KKB Papua, ternyata sudah 30 tahun bekerja di Papua.
Menurut Vanclief, ayahnya yang jadi korban pembunuhan KKB Papua bekerja sebagai kontraktor.
Baru-baru ini ia yang merupakan korban KKB Papua terlibat pembangunan jalan trans di Papua Barat.
Dilansir Gridhot.ID dari artikel terbitan TribunManado, 2 Oktober 2022, meski jauh dan jarang pulang, sang ayah selalu menyempatkan diri kontak dengan anaknya.
"Ayah sudah 30 tahun kerja di Papua," kata Vanclief Rompis, Minggu (2/10/2022) di rumah duka beralamat Kelurahan Malalayang 2, Kecamatan Malalayang, kota Manado, Sulawesi Utara.
"Dalam kontak terakhir, ia katakan sedang kerja dan akan kirim uang ke saya," katanya.
Vanclief juga membeberkan dirinya memiliki satu adik lagi bernama Marselino.
Marselino kini sedang kuliah di Yogyakarta.
"Ia tak bisa datang kemari karena sedang ujian," katanya.
Yafet Jorgern Rompis (54), warga Kota Manado, Sulawesi Utara, tewas diduga dibunuh (Kelompok Kriminal Bersenjata) KKB Papua.
Baca Juga: Kalau Asam Lambung Naik Coba Masak Sayur Murah Ini, Sekali Gigit Langsung Sembuh Seketika
Pihak keluarga meminta aparat keamanan mengusut tuntas kasus pembunuhan tersebut.
"Kami minta aparat usut tuntas," kata Anto Kosasi mewakili keluarga di rumah duka Kelurahan Malalayang Dua, Kecamatan Malalayang, Kota Manado, Minggu (2/10/2022).
Anto mengaku sudah ikhlas dengan kepergian Yafet, tapi hukum harus ditegakkan.
"Agar supaya jangan ada lagi korban berikutnya," katanya.
Menurut dia, Yafet berprofesi sebagai kontraktor di Papua.
Dia turut mengerjakan sebuah proyek jalan trans di sana.
Berdasarkan pengamatan Tribunmanado.co.id, rumah duka dipenuhi keluarga.
Mereka tengah bersiap menjemput jenazah Yafet di Bandara Internasional Sam Ratulangi.
Dari bandara, jenazah akan langsung dikuburkan di Pemakaman Pemkot Manado Kayuwatu.
Jenazah direncanakan tiba di Bandara Sam Ratulangi hari ini pukul 16.00 Wita.
Dikutip Gridhot.ID dari artikel terbitan Pos-Kupang, 15 September 2022, diberitakan sebelumnya, para pemimpin Gereja Papua prihatin atas Kasus mutilasi empat warga Nduga yang melibatkan sejumlah oknum TNI di Kabupaten Mimika Senin 22 Agustus 2022.
Mereka meminta aparat penegak hukum untuk mengadili para tersangka seadil-adilnya.
Untuk itu, keluarga korban tidak menghambat proses hukum, melainkan mempercayakan kepada aparat penegak hukum.
Hal itu disampaikan Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Wilayah 1 Papua, Pendeta Petrus Bonya Done, dan Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Jayapura (PGGJ) di Kabupaten Jayapura, Pendeta Joop Suebu.
Diketahui, kasus mutilasi empat warga di Kabupaten Mimika, yang melibatkan 6 oknum anggota TNI kini telah menjalani pemeriksaan intensif, termasuk pelaku lain.
Sebagai tersangka, enam oknum TNI itu dijerat pasal berlapis yakni Pasal 340 KUHP dan Pasal 365 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal hukuman mati dan paling rendah 20 tahun penjara.
Pendeta Petrus Bonya Done mengakui bahwa para korban adalah jemaat GKII di Tanah Papua wilayah Timika.
"Setelah saya cek di lapangan mereka para korban ini adalah warga sipil biasa dan adalah jemaat kami, itu yang sangat kita sesalkan," kata Pendeta Petrus.
Pendeta Petrus Bonya Done meminta peradilan hukum terhadap para pelaku digelar terbuka.
"Aparat yang melakukan mutilasi itu harus ditindak tegas, hukum harus ditegakkan dengan seadil-adilnya, dan terbuka, supaya masyarakat tahu dan menjadi pembelajaran kepada masyarakat dan aparat," ujar Petrus.
Selain proses hukum yang adil dan terbuka, pihaknya juga meminta agar keluarga korban diperhatikan. Sebab, para korban meninggalkan anggota keluarganya.
"Kami juga minta supaya keluarga korban diperhatikan, seperti salah satu korban itu adalah kepala kampung, lantas bagaimana istri dan anak-anaknya. Ini juga harus kita pikirkan termasuk korban lain. Paling tidak keluarganya juga diberikan perhatian," ujarnya.
Meksi begitu, Pendeta Petrus meminta masyarakat dan keluarga para korban untuk tidak melakukan hal-hal yang malah mengganggu proses hukum.
"Kami dalam lingkungan gereja juga berdoa ya, dan kami sampaikan kepada masyarakat dan keluarga korban untuk tidak melakukan hal-hal yang menimbulkan keresahan."
"Kasus ini sementara ditangani pihak yang berwenang, apalagi sudah ada atensi dari Presiden, Panglima (TNI) dan otoritas di Mimika," ucapnya.
(*)
Source | : | Pos-Kupang.com,TribunPapua.com |
Penulis | : | Akhsan Erido Elezhar |
Editor | : | Dewi Lusmawati |
Komentar