GridHot.ID - Lebih dari 200 tahun yang lalu, peristiwa perubahan iklim mempengaruhi kehidupan setiap orang.
Musim panas menghilang, di mana-mana dingin.
Ribuan orang meninggal, sementara yang masih hidup harus mengalami kesengsaraan.
Dilansir dari artikel eva.vn, saat itu tahun 1816. Banyak orang awalnya mengira hilangnya musim panas karena posisi planet, jarak antara Bumi dan Bulan, atau bintik Matahari.
Namun ternyata penyebab hilangnya musim panas tahun 1816 adalah letusan gunung berapi Tambora.
Gunung dengan tinggi 2.850 meter itu terletak di Pulau Sumbawa, dekat Bali, Indonesia.
Letusan gunug Tambora yang terjadi pada April 1815 merupakan salah satu letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah.
Diperkirakan korban tewas dalam bencana dahsyat ini mencapai 90.000 orang.
Letusan gunung berapi Tambora mendorong sejumlah batuan berdiameter hingga 20 cm bersama dengan berton-ton abu dan gas SO2 (sulfur dioksida) ke atmosfer, naik hingga ketinggian 43 meter, mencapai stratosfer, menyelimuti stratosfer. Debu melayang setidaknya 1.300 km ke arah barat laut.
Gunung Tambora juga memuntahkan abu vulkanik dalam jumlah besar ke atmosfer bagian atas. Abu vulkanik itu pun tersebar ke seluruh dunia.
Abu vulkanik menutupi Bumi seperti payung kosmik, mengurangi kemampuan cahaya matahari untuk menembus Bumi.
Hal ini mengakibatkan suhu dingin di sebagian besar dunia pada musim panas berikutnya, yakni pada tahun 1816.
Selain itu, letusan Gunung Tambora juga menimbulkan tsunami, puting beliung, banjir, dan wabah penyakit dimana-mana.
Menurut majalah Live Science, letusan Gunung Tambora memiliki tingkat yang berbahaya, daya rusaknya setara dengan 1.000 juta ton TNT.
Selain itu, ada spekulasi mengenai gerhana matahari total pada 26 Mei 1816 dan gerhana bulan total pada 9 Juni 1816 yang juga dapat mempengaruhi penurunan suhu global.
Konsekuensi dari hilangnya musim panas
Dingin yang tak biasa pada tahun 1816 menghancurkan produksi pertanian di banyak bagian dunia.
Secara langsung atau tidak itu menyebabkan gagal panen, meroketnya harga pangan, kelaparan, gangguan budaya, penyakit kolera dan penyakit lainnya.
Amerika Serikat adalah salah satu negara yang paling berpengaruh dalam perubahan iklim ini.
Embun beku membunuh sebagian besar tanaman di New York dan bagian lebih tinggi dari Massachusetts, News Hampshire, dan Vermont.
Pada tanggal 6 Juni 1816, tepatnya di musim panas, salju turun di Albany, New York, dan kota Dennysville, Maine.
Di Cape May, New Jersey, embun beku muncul selama beberapa hari pada akhir Juni, menyebabkan kerusakan yang meluas.
Sungai dan danau di Pennsylvania membeku pada pertengahan Juli, hingga Agustus tahun itu, Virginia barat daya masih membeku.
Dunia kemudian tampak dilanda bencana dan kematian. Perubahan suhu yang tiba-tiba membuat manusai tak bisa beradaptasi, burung terbang di langit juga mati kedinginan dan jatuh.
Salju merah-coklat telah turun di Hongaria dan Italia.
Harga pangan naik karena kelangkaan, yang pada gilirannya menyebabkan kelaparan, kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan yang terjadi di banyak kota di Eropa.
Sementara itu, China mengalami gagal panen massal dan bencana banjir.
Letusan Gunung Tambora telah menyebabkan munculnya strain baru kolera. Ketegangan ini muncul akibat perubahan kondisi cuaca di Teluk Benggala, Asia Selatan.
Di India, angin lembab tidak muncul, menyebabkan kekeringan parah, diikuti banjir, orang kelaparan, menyebabkan kekebalan yang buruk, menyebabkan penyakit menyebar dengan cepat, bakteri kolera bermutasi menjadi lebih adaptif.
Epidemi kolera pecah di India, menyebar dari Gangga ke Moskow, Rusia.
Di Kutub Utara, suhu kembali menghangat, menyebabkan es mencair dan membentuk Jalur Barat Laut antara Samudra Atlantik dan Pasifik. Dari sinilah era eksplorasi Arktik dimulai.
Bencana alam, epidemi, kekurangan pangan, krisis keuangan, dan kerusuhan sosial juga secara langsung mempengaruhi kehidupan dan psikologi masyarakat.
Banyak orang yang tidak mati karena bencana alam atau wabah juga melakukan bunuh diri karena tekanan dan keputusasaan.
"Sepanjang musim panas. Matahari terbit setiap pagi seolah tertutup awan asap merah dan tanpa sinar, memancarkan sedikit cahaya atau kehangatan, dan terbenam di malam hari seolah-olah di balik awan tebal, nyaris tak terlihat. Meninggalkan jejaknya melewati permukaan Bumi," catat American History Jaournal. (*)