Ia juga menilai, unsur meringankan lainnya yakni keterbatasan waktu berfikir ketika mendapatkan perintah dari atasan yang berpangakat Irjen dengan bintang dua di pundaknya itu.
Menurut Romo Magnis, Bharada E dihadapkan dalam situasi yang membingungkan untuk melaksanakan atau menolak perintah yang secara norma merupakan perintah yang salah.
"Dia (Bharada E) harus langsung bereaksi. Itu 2 faktor yang secara etis yang meringankan," kata Romo Magnis.
"Kebebasan hati untuk mempertimbangkan dalam waktu berapa detik mungkin tidak ada," ucapnya melanjutkan.
Sekadar informasi, Bharada E didakwa melakukan pembunuhan berencana Brigadir J bersama Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf.
Brigadir J tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selata pada 8 Juli 2022 lalu.
Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo soal pelecehan seksual di Magelang.
Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Brigadir J.
Dalam perkara ini, kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.
Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.
Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.
(*)
Source | : | Kompas.com,Tribunnews.com |
Penulis | : | Candra Mega Sari |
Editor | : | Candra Mega Sari |
Komentar