GridHot.ID - Mahar berasal dari bahasa Arab, asal katanya al-mahru yang artinya pemberian untuk seorang wanita karena suatu akad.
Mahar dalam bahasa Indonesia juga disebut mas kawin.
Mahar atau mas kawin juga dapat diartikan sebagai harta yang diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya sebagai tanda terjadinya ikatan pernikahan antara pria dan wanita.
Mengutip tribunsumsel.com, sebagai umat muslim yang akan melangsungkan pernikahan, keberadaan mahar atau mas kawain ini merupakan salah satu syarat penting dalam prosesi akad pernikahan.
Dimana mahar tersebut akan diberikan oleh pihak pria kepada calon istrinya pada saat hari pernikahan berlangsung.
Mahar sendiri jadi bentuk cinta atas ketersedian calon wanita untuk menjadi istrinya.
Mahar juga dapat diartikan sebagai harta yang diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya sebagai tanda terjadinya ikatan pernikahan antara pria dan wanita.
Pemberian mahar bertujuan untuk menunjukkan bahwa wanita adalah makhluk yang patut dihargai dan memiliki harta. Selain itu, mahar juga berupaya menunjukkan shidiq atau kesungguhan suami untuk menempatkan istri pada derajat mulia.
Pada dasarnya pemberian mahar ini tak ditentukan sendiri , namun sesuai dengan kesepakatan atau permintaan dari mempelai wanita. Karena sebaik-baiknya mahar adalah yang tidak merendahkan pihak wanita dan tidak memberatkan pihak pria.
Mahar dapat berupa barang, uang ataupun jasa.
Dilansir dari Banjarmasinpost.co.id, penceramah Buya Yahya menjelaskan hukum mahar dan seserahan hasil berutang.
Diingatkan Buya Yahya, hendaknya kaum muslimin senantiasa menjadikan utang kebiasaan dalam membeli atau memberi sesuatu.
Buya Yahya menuturkan Mahar dan seserahan hasil utang sah-sah saja dilakukan namun sebaiknya tidak dipaksakan.
Mahar atau maskawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan pada saat pernikahan.
Sementara seserahan adalah hadiah yang akan diserahkan dari pihak pria sebagai simbol kesanggupan.
Buya Yahya menerangkan mahar maupun seserahan boleh-boleh saja dilakukan dengan cara berutang.
"Hanya saja hendaknya tidak membiasakan berutang, apalagi seserahannya besar dan mahal jutaan rupiah, kemudian resepsinya mahal. Kepada para wali perempuan jika ingin punya menantu laki-laki jangan disiksa dengan hal-hal semacam itu kalau ingin nikah," terang Buya Yahya dikutip Banjarmasinpost.co.id dari kanal youtube Al-Bahjah TV.
Agar pernikahan anak semakin berkah, maka orangtua hendaknya tidak banyak tuntutan.
Namun bagi laki-laki yang mampu hendaknya memuliakan calon istrinya, kalau tidak mampu jangan memaksa dengan cara berutang.
"Kasian, merintis hidup yang harusnya indah jadi susah gara-gara, sehingga yang tadinya bulan madu jadi bulan garam, asin bahkan asam," papar Buya Yahya.
Hukum mahar dan seserahan hasil utang, dikatakan Buya Yahya sah-sah saja namun tidak memaksa dengan cara berutang. Jikalau tidak mampu ya sudah apa adanya.
Para orangtua hendaknya mempermudah urusan mahar dan seserahan bagi para wali perempuan dan jangan dipersulit.
Namun kalau sebagai suami yang mampu dan berpunya tidak apa-apa memuliakan calon istri semulia-mulianya.
"Hal itu diajarkan juga, boleh-boleh saja memberi hadiah atau seserahan yang banyak namun jangan jadi beban, kadang-kadang calon mertua juga menginginkan hadiah yang sama atau mendekati ini yang membuat kacau," ucap Buya Yahya.
Tak jarang hal ini membuat orang tak jadi atau enggan menikah gara-gara seserahan yang mahal atau besar.
Solusinya bisa cari calon mertua yang lain, namun apabila terlanjur mencintai anaknya maka itu kesalahan dari Anda yang mencintai orang yang belum sah menjadi istri.
"Makanya bangunlah cinta di atas pernikahan, bukan bangun pernikahan di atas cinta," tukas Buya Yahya. (*)