وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Surat An-Nisa’ ayat 4).
Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa Islam memberikan garis yang jelas terkait hak laki-laki dan hak perempuan.
Perempuan dalam hal ini istri memiliki hak atas harta, yaitu mahar dan nafkah.
Sedangkan laki-laki dalam hal ini suami juga memiliki hak atas harta.
Lalu bagaimana dengan pernyataan “uang suami milik istri dan uang istri milik istri?”
Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah.
Kalimat tersebut mengandung dua pernyataan yang perlu diuji satu per satu.
Pertama, pernyataan, “uang suami (adalah) milik istri.”
Uang suami mungkin saja milik istri dan mungkin juga bukan milik istri.
Baca Juga: 5 Arti Kedutan di Lutut Kiri, Primbon Jawa Ramalkan Datangnya Rezeki yang Tak Disangka-sangka