Gridhot.ID - Beberapa pengamat, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Papuan Road Map mengidentifikasi empat akar masalah di Papua yaitu, persoalan sejarah dan status politik integrasi Papua di Indonesia tidak dilakukan dengan benar, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berlangsung dari 1965 melalui operasi militer nyaris tak ada pertanggungjawaban negara, diksriminasi dan termarjinalisasi orang Papua di tanah air sendiri (orang Papua disingkirkan dalam rumusan pembangunan di tanah air mereka), dan kegagalan pembangunan di Papua itu sendiri yang melingkupi bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Dari empat akar permasalahan mendalam tersebut, kendati apa yang hendak dilakukan pemerintah untuk mengatasi atau memberi rasa damai-keadilan-kesejahteraan di Papua?
Hipolitus Wangge, Peneliti Australian National University dan Anggota Forum Academia NTT, menawarkan alternatif pendekatan dalam penyelesaian konflik Papua yang melibatkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di satu pihak dan tim gabungan TNI dan Polri di pihak lain.
Dia menyebut salah satu opsi penting yang diajukan Institute for Policy Analysis and Conflict (IPAC) bagi pemerintahan mendatang adalah memperkuat pemerintahan lokal, termasuk menemukan pihak tepercaya untuk menjaga dan mengoordinasi kepentingan para pihak yang berkonflik, seperti yang terjadi di Kabupaten Lanny Jaya.
"Opsi ini perlu mendapatkan dukungan selain tawaran dialog yang masih mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, demikian Hipolitus Wangge, dalam artikel opini berjudul "Penyanderaan Pilot dan Persoalan Komitmen Bersama" yang dimuat laman Kompas.id, Rabu (6/3/2024).
Meski demikian, Hipolitus memberi catatan bahwa model yang diterapkan di Lanny Jaya akan membutuhkan waktu yang cukup lama mengingat minimnya dukungan kelembagaan dan kepercayaan di antara para pihak yang berkonflik di beberapa daerah pegunungan yang memiliki karakternya masing-masing.
"Sejumlah kebijakan populis yang kemungkinan besar akan dilanjutkan pemerintahan baru, seperti infrastruktur dan bantuan keuangan, tidak akan berdampak signifikan untuk menanggulangi eskalasi konflik," demikian pendapat Hipolitus.
Dia menulis, dalam satu dekade terakhir, upaya-upaya penanganan masih terpusat di Jakarta dan ruang keterlibatan masyarakat asli Papua, khususnya kelompok politik di Papua, sangat terbatas dan bahkan hilang dalam menyelesaikan sejumlah problem di Papua.
"Selain pembangunan yang masih terpusat di wilayah pesisir, penembakan, pengungsian, pembakaran, rasisme, deforestasi, korupsi, menjadi warna Papua dalam 10 tahun terakhir."
Dia menyoroti upaya penyelesaian kasus penyanderaan pilot berkebangsaan Selandia Baru Philip Mark Mehrtens yang diikuti sejumlah kontak bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) atau juga disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan pasukan gabungan TNI dan Polri yang membuat kondisi keamanan di wilayah pegunungan Papua belum stabil.
"Penyanderaan pilot dan konflik bersenjata yang menelan puluhan kombatan dan memaksa ribuan orang asli Papua (OAP) mengungsi menjadi konsekuensi dari tidak efektifnya pelaksanaan otonomi khusus (otsus) dan gagalnya operasi kontra pemberontakan yang dijalankan aparat keamanan di Papua. Sejumlah peristiwa kekerasan yang tak berkesudahan menjadi refleksi ketidakmampuan pemerintah pusat menyelesaikan konflik politik di Papua dalam 10 tahun terakhir."