Sejauh ini, menurut Hipolitus, proses pembangunan dalam kerangka otsus di daerah-daerah ”merah”, seperti Pegunungan Bintang, Nduga, Yahukimo, Puncak, Puncak Jaya, Intan Jaya, dan Maybrat, berbanding lurus dengan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia dan angka partisipasi sekolah serta tingginya angka kemiskinan.
Penyanderaan pilot asal Selandia Baru juga, katanya, semakin merefleksikan kegagalan operasi kontra pemberontakan di wilayah Papua. Salah satu indikatornya adalah minimnya pengendalian keamanan di daerah-daerah ”merah” tersebut.
"Rentetan penyerangan yang dilakukan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan resistensi masyarakat lokal terhadap aparat keamanan menunjukkan tidak efektifnya strategi deteksi dini dan hilangnya legitimasi TNI-Polri di sejumlah daerah tersebut."
Hingga kini, Pemerintah Selandia Baru yang memiliki reputasi membantu penyelesaian damai dalam konflik di Bougenville masih kesulitan mencari terobosan pembebasan sandera di Papua. Pemerintah Selandia Baru masih terus mengikuti upaya Pemerintah Indonesia untuk membebaskan Philip Merthens. Persoalan komitmen bersama menjadi kunci lambatnya upaya pembebasan tersebut.
Pihak TPNPB yang sejauh ini beroperasi independen di wilayah-wilayah yang terisolasi mampu memanfaatkan medan dan sumber daya yang ada untuk melakukan serangan mendadak terhadap aparat keamanan. Melihat kenyataan dalam lima tahun terakhir, pengendalian keamanan oleh aparat keamanan menurun drastis walaupun puluhan ribu tentara telah diterjunkan.
Selain itu, dia menilai, kontrol sipil terhadap sejumlah operasi-operasi militer di Papua juga masih jauh dari harapan. Tiga tugas utama aparat TNI yang merupakan bagian dari kontra pemberontakan—pengamanan obyek vital nasional, pengamanan perbatasan, dan penanggulangan konflik—belum didukung oleh transparansi dan akuntabilitas yang memadai dari para politisi sipil di pemerintahan pusat dan parlemen.
Menurut Hipolitus, sejauh ini, transparansi dan akuntabilitas terhadap sejumlah operasi kontra pemberontakan di Papua belum menjadi diskursus utama di antara para penyelenggara negara, khususnya parlemen. Akibatnya, mekanisme kontrol yang baik dari kalangan sipil terhadap kinerja aparat keamanan di wilayah Papua sangat minim dan kepercayaan masyarakat asli Papua akibat penyalahgunaan otoritas keamanan di Papua terus tergerus. Salah satu penyimpangan adalah penggunaan fasilitas publik sebagai pos-pos militer baru di wilayah-wilayah konflik.
Fragmentasi dan komitmen bersama
Sementara itu, Hipolitus melihat kelompok TPNPB juga masih mengalami persoalan fragmentasi internal yang mengakibatkan belum adanya negosiator ulung yang dapat dipercaya untuk menjembatani perbedaan dengan pemerintah pusat. Ketiadaan kohesivitas kelembagaan yang terorganisasi dengan baik membuat pihak TPNPB masih kesulitan membangun pola komando dan komunikasi yang efektif dengan masyarakat sipil, aparat keamanan, dan sejumlah pemangku kepentingan lain di dalam dan luar negeri.
Di pihak lain, katanya, pemerintah pusat dan lokal tidak mampu memanfaatkan disharmonisasi kelembagaan kelompok bersenjata tersebut. Hingga kini, belum ada komunikasi strategis antara pemerintah dan pihak TPNPB di bawah pimpinan Egianus Kogeya di Nduga.
"Ironisnya, baik kepolisian lokal maupun panglima TNI justru memproduksi narasi kontraproduktif, seperti dana tebusan untuk membebaskan sandera. Hal ini justru mengakibatkan hilangnya kepercayaan kelompok bersenjata terhadap itikad baik pemerintah untuk melakukan negosiasi damai dan menghargai keberadaan para pihak yang berkonflik," tulis Hipolitus.