Menurut dia, pemerintahan baru 2024 masih akan mewarisi siklus kekerasan di wilayah paling timur NKRI. Berdasarkan visi-misi dan debat capres, dia menilai, kepemimpinan baru belum memiliki model penyelesaian komprehensif selain mengulangi retorika dan kebijakan terdahulu pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Dia menyebut, pada 2021, pemerintah pusat dan parlemen menyetujui revisi dan perpanjangan Undang-Undang Otsus untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Papua dengan harapan akhir untuk mengakhiri konflik politik di wilayah tersebut. Tanpa melalui proses deliberasi yang menyeluruh, revisi UU Otsus justru mendapatkan penolakan yang cukup meluas di Papua, khususnya masyarakat asli Papua.
Sekalipun demikian, tulisnya, pemerintah pusat tetap memberlakukan perubahan undang-undang tersebut dengan memperkuat kewenangan pemerintah pusat di bidang keuangan, regulasi, dan politik, dan memperlemah eksistensi lembaga kultural seperti Majelis Rakyat Papua.
Salah satu tujuan revisi otsus adalah memberikan insentif untuk jabatan birokrasi dan keuangan bagi usaha kecil dan menengah untuk OAP dengan harapan mereka pada akhirnya akan meninggalkan mobilisasi politik baik melalui jalur nonkekerasan ataupun terlibat dalam kelompok bersenjata.
Dengan latar belakang yang sama terkait percepatan pembangunan, pemerintah pusat dan sejumlah elite di Papua membentuk empat provinsi baru di wilayah tersebut pada 2022. Menurut Hipolitus, sejauh ini, baru provinsi Papua Selatan dan Papua Barat Daya yang memiliki kesiapan infrastruktur dan birokrasi dengan dukungan keuangan minimal untuk menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Dua ibu kota setiap provinsi itu, yakni Merauke dan Sorong, memiliki latar perkotaan sehingga memudahkan transisi pemerintahan baru.
Sementara itu, dua provinsi baru lainnya, menurut Hipolitus, masih berkutat dengan daya dukung keuangan, sumber daya manusia, dan infrastruktur. Dia mengangkat salah satu contoh, sejumlah gedung perkantoran dan sekolah di wilayah Yahukimo, Nduga, Puncak, Dogiyai, dan Deiyai tidak lagi digunakan untuk kegiatan pelayanan masyarakat. Dua perubahan struktural di Papua ini berlangsung di tengah meningkatnya eskalasi kekerasan.
Lingkaran kekerasan
Dia mengutip laporan Polda Papua pada 2023 yang menyebutkan, ada 196 aksi kekerasan termasuk penembakan terjadi di Papua yang mengakibatkan 23 anggota TNI, 3 polisi, dan 37 warga sipil meninggal. Jumlah angka kekerasan ini, katanya, cukup meningkat dibandingkan sejak 2022 dan menunjukkan bahwa instabilitas di Papua sangat mengkhawatirkan.
Konflik bersenjata yang berkepanjangan juga menyebabkan ribuan masyarakat asli Papua mengungsi dan hidup dengan penuh keterbatasan. Dengan kata lain, eskalasi konflik yang terus meningkat berdampak langsung terhadap masyarakat asli Papua dan menimbulkan ketidakstabilan berkepanjangan.
Dia menyebut revisi otsus dan pemekaran wilayah yang berlangsung di tengah ketidakstabilan keamanan akan sulit memberikan dampak positif. Lemahnya regulasi nasional dan institusi lokal untuk mencegah dan mengatasi gangguan keamanan mengakibatkan sejumlah agenda pemerintahan sulit untuk tercapai.
Konflik bersenjata yang berkepanjangan juga menyebabkan ribuan masyarakat asli Papua mengungsi dan hidup dengan penuh keterbatasan.