Lebih lanjut Reza menjelaskan, empat orang itu baru bisa dikatakan bunuh diri bersama-sama hanya jika bisa dipastikan bahwa ada kehendak dan kesepakatan (konsensual) bersama untuk melakukan perbuatan sedemikian rupa.
"Implikasinya, anggapan bahwa anak-anak berkehendak dan bersepakat, dalam peristiwa semacam ini serta-merta gugur," ucap Reza.
Dalam situasi apa pun, ucap Reza, anak-anak secara universal harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuannya bagi aksi bunuh diri.
Hal ini, kata dia, sama jika dianalogikan dengan kekerasan seksual yang mana anak-anak harus selalu didudukkan sebagai individu yang tidak ingin dan tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual.
Terlepas apakah anak-anak pada peristiwa itu mau atau tidak mau untuk bunuh diri, Reza berujar, tetap mereka harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak setuju.
"Aksi terjun bebas tersebut, dengan demikian, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual," ucap Reza.
Karena tidak konsensual, Reza menilai, maka anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrem tersebut.
Atas dasar itu, anak-anak itu sama sekali tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri.
Karena mereka dipaksa melompat, ucap Reza, maka mereka justru korban pembunuhan.
"Pelaku pembunuhannya adalah pihak yang harus diasumsikan telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa," kata dia.
Kendati kejadian tersebut berubah menjadi bunuh diri dan pembunuhan, polisi tidak bisa memrosesnya lebih lanjut karena terduga pelaku sudah tewas.