Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Penampakan Tak Biasa di TKP Lompatnya Sekeluarga dari Lantai 22 Apartemen Penjaringan, Pakar Singgung Adanya Pidana Pembunuhan

Siti Nur Qasanah - Selasa, 12 Maret 2024 | 18:13
Penampakan tak biasa di sekitar TKP empat anggota keluarga lompat dari lantai 22 apartemen Penjaringan.
KOMPAS.com/RIZKY SYAHRIAL - TribunTrends.com

Penampakan tak biasa di sekitar TKP empat anggota keluarga lompat dari lantai 22 apartemen Penjaringan.

GridHot.ID - Kasus empat anggota keluarga lompat dari lantai 22 Apartemen Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara, pada Sabtu (9/3/2024), cukup menggegerkan warga.

Satu keluarga yang terjun dari lantai 22 apartemen Pejaringan itu berinisial EA (51), AIL (52), JW (13), dan JIL (15).

Penampakan tak biasa di sekitar lokasi kejadian pun menjadi sorotan.

Dilansir dari TribunTrends.com, penampakan tak biasa yang dimaksud adalah penampakan sebuah buket bunga.

Buket bunga berwarna putih itu tergeletak di sekitar darah korban.

Belum diketahui siapa orang yang meletakkan buket bungan tersebut.

Sementara itu, melansir Kompas.com, pakar psikologi forensik, Indragiri Amriel, menilai keluarga yang terjun dari Apartemen Teluk Intan, Jakarta Utara, bukan bunuh diri sepenuhnya.

Menurutnya, ada unsur pidana pembunuhan dalam kasus tersebut.

Pasalnya, ada dua orang korban yang marupakan anak di bawah umur.

"Ingat, pada kejadian yang menyedihkan dan mengerikan itu ada dua orang anak-anak," ucap Reza dalam keterangannya kepada Kompas.com, Senin (11/3/2024).

Baca Juga: Terekam CCTV, Ini Gelagat Aneh Satu Keluarga sebelum Lompat dari Lantai 22 Apartemen Penjaringan, Ibu Sempat Kumpulkan Ponsel

Lebih lanjut Reza menjelaskan, empat orang itu baru bisa dikatakan bunuh diri bersama-sama hanya jika bisa dipastikan bahwa ada kehendak dan kesepakatan (konsensual) bersama untuk melakukan perbuatan sedemikian rupa.

"Implikasinya, anggapan bahwa anak-anak berkehendak dan bersepakat, dalam peristiwa semacam ini serta-merta gugur," ucap Reza.

Dalam situasi apa pun, ucap Reza, anak-anak secara universal harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuannya bagi aksi bunuh diri.

Hal ini, kata dia, sama jika dianalogikan dengan kekerasan seksual yang mana anak-anak harus selalu didudukkan sebagai individu yang tidak ingin dan tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual.

Terlepas apakah anak-anak pada peristiwa itu mau atau tidak mau untuk bunuh diri, Reza berujar, tetap mereka harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak setuju.

"Aksi terjun bebas tersebut, dengan demikian, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual," ucap Reza.

Karena tidak konsensual, Reza menilai, maka anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrem tersebut.

Atas dasar itu, anak-anak itu sama sekali tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri.

Karena mereka dipaksa melompat, ucap Reza, maka mereka justru korban pembunuhan.

Baca Juga: Kondisi Terkini TKP Satu Keluarga yang Lompat dari Lantai 21 Apartemen di Penjaringan, Ada Taburan Bunga dan 4 Kiriman Buket

"Pelaku pembunuhannya adalah pihak yang harus diasumsikan telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa," kata dia.

Kendati kejadian tersebut berubah menjadi bunuh diri dan pembunuhan, polisi tidak bisa memrosesnya lebih lanjut karena terduga pelaku sudah tewas.

Pasalnya, kata dia, Indonesia tidak mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati.

Namun, Reza menenkankan bawa dalam pendataan polisi, peristiwa memilukan itu seharusnya tetap dicatat sebagai kasus pidana.

"Yakni terkait pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa mereka untuk melompat dari gedung tinggi," tutur Reza.

(*)

Source :Kompas.comTribunTrends.com

Editor : Grid Hot

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

Popular

Tag Popular

x