“Kita belum mengklaim bahwa wilayah udara kita itu adalah wilayah kedaulatan NKRI. Tidak ada di konstitusi kita. Di konstitusi kita hanya disebutkan bumi dan air,” ujar Chappy.
Menurut dia, hal itu perlu diatur dalam konstitusi, apalagi Konvensi Chicago Tahun 1944 menyebutkan bahwa kedaulatan wilayah udara suatu adalah complete dan ekslusif sehingga tidak ada boleh ada penerbangan tanpa izin di wilayah tersebut.
Chappy juga mewanti-wanti perbatasan udara Indonesia bisa menjadi lemah karena belum mengeklaim soal kedaulatan wilayah udara dalam konstitusi.
“Kalau terjadi dispute (perselisihan) itu maka dengan mudah dikatakan, ‘Anda sendiri tidak mencantumkan wilayah udara anda sebagai wilayah kedaulatan kan’. Selesai,” kata dia.
Tantangan kedua adalah terkait perbatasan Selat Malaka. Menurut dia, wilayah Selat Malaka sekitar perairan Pulau Natuna, Riau adalah perbatasan yang sangat kritis.
Terlebih, otoritas penerbangan dari level 0-37.000 kaki di area tersebut didelegasikan kepada Singapura.
“Our critical border (perbatasan kritis kita) itu di Selat Malaka perairan Riau dan Natuna dan itu didelegasikan penerbangannya kepada otoritas penerbangan Singapura,” kata Chappy.
Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia ini menilai, situasi tersebut turut membuat Indonesia kehilangan kedaulatannya.
Menurut dia, dengan memberikan teritori ruang udara di Selat Malaka, bisa membuat Indonesia kehilangan tiga hal.
Ia menyebutkan, Indonesia kehilangan kewenangan untuk mengontrol wilayah udara, tidak bisa mengunakan ruang udara yang berpotensi menghasilkan pendapatan finansial, serta kehilangan law enforcement atau penegakan hukum apabila ada pesawat terbang tanpa izin masuk di wilayah itu.
“Begitu kita ruang udara wilayah teritori kita, kita delegasikan, kita kehilangan kedaulatan. Kita kehilangan tiga hal,” ujar Chappy.
Baca Juga: 3 Jet Tempur Tercanggih dan Paling Kuat Milik TNI AU, Siap Lindungi Langit Nusantara