Ini adalah bentuk parodi yang menceritakan korban pelecehan justru dihukum..." ujar Usman sebagaimana dikutip dari The Guardian.
Baca Juga : Tak Tahu Ibunya Akan Dipenjara, Anak Baiq Nuril: Pak Jokowi, Jangan Suruh Ibu Saya Sekolah Lagi
Sementara itu, Maidina Rahmawati yang berasal dari Lembaga Reformasi Peradilan Pidana mengatakan bahwa keputusan itu dapat digunakan untuk menghalangi korban lain melaporkan pelanggaran di masa depan.
"Kasus ini adalah contoh bagaimana hukum yang terlalu kabur, sehingga dapat digunakan terhadap perempuan yang rentan dan berusaha melindungi diri mereka sendiri", ujar Maidina.
The Guardian juga mengatakan bahwa sepertiha wanita Indonesia telah mengalami kekerasan fisik atau seksual.
Hal ini berdasarkan pada survei Pemerintah yang dirilis tahun lalu.
Sebagai tambahan informasi, kasus Nuril bermula dari gangguan kepala sekolah di tempatnya bekerja, yakni SMU 7 Mataram.
Nuril merekam cerita perselingkuhan kepala sekolah dengan bendaharanya menggunakan telepon genggam.
Salah satu temannya, menyalin percakapan tersebut dan kemudian menyebarkannya ke publik.
Hal itulah yang kemudian membuat kepala sekolah merasa geram dan memberhentikannya sebagai pegawa honorer di sekolahnya.
Tak sampai di situ saja, kepala sekolah juga melaporkan Nuril ke polisi terkait UU ITE pada tahun 2016 silam.
Kini, tim penasihat hukum Baiq Nuril akan mengajukan PK (Peninjauan Kembali) terhadap putusan kasasi MA yang menyatakan Nuril bersalah dan melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE.
"Kami persiapkan menempuh peninjauan kembali atau PK.
Hanya itu saja upaya yang bisa kita lakukan", terang tim penasihat hukum Baiq Nuril, Joko Jumaidi kepada Kompas.com pada Rabu (14/11/2018).
Hal ini dilakukan karena Joko yakin bahwa kliennya kali ini tidak bersalah, melainkan korban.
#SaveIbuNuril. (*)