Find Us On Social Media :

Tak Laku di Indonesia, Karya Sastra Pensiunan Guru Asal Bali Ini Malah Jadi Koleksi Perpustakaan Belanda

Tak Laku di Indonesia, Karya Sastra Pensiunan Guru Asal Bali Ini Malah Jadi Koleksi Perpustakaan Belanda

I Nyoman 

Gridhot.ID - I Nyoman Manda, pria kelahiran Pasdalem Gianyar, 14 April 1939.

I Nyoman Manda telah pensiun menjadi guru sejak tahun 1999 silam.

Bagi mereka yang serius mempelajari Bahasa Bali dari SD hingga SMA, pasti sering menjumpai nama I Nyoman Manda di dalam buku ajar maupun lembar kerja siswa.

Ia telah menerbitkan lebih dari 90 buku baik berupa kumpulan cerpen, novel, puisi, drama berbahasa Bali maupun berbahasa Indonesia.

Baca Juga : Dua Putri Jamal Khashoggi Tuliskan Sebuah Pesan Menyentuh Hati yang Didedikasikan untuk Sang Ayah

Sebut saja beberapa judul bukunya Ganda Sari (bersama pengarang Made Sanggra), Togog, Masan Cengkehe Nedeng Mabunga, Kuuk, Lelakut, Bungan Gadung Ulung Abancang, Kasih Bersemi di Danua Batur, dan karya-karya lainnya.

Dalam menerbitkan semua buku ini, Manda menggunakan uang tabungannya sewaktu jadi guru serta uang pensiunannya.

"Sing ada anak ngerunguang, bapak mula sing bisa ngidih-ngidih ke bupati atau pejabat (Tidak ada yang hirau, Bapak memang tidak bisa minta-minta ke bupati atau pejabat).

Sekarang pakai uang pensiunan, kalau dulu pakai gaji yang bapak sisakan," kata mantan Kepala SMAN 1 Gianyar tahun 1997-1999 ini, ketika ditemui Sabtu (24/11).

Baca Juga : Baru Resmi Menikah dengan Baim Wong, Pauala Verhoeven Ngadu ke Gubernur DKI Soal Bulan Madu

Selain menerbitkan buku, ia juga mengelola dua majalah sastra Bali modern (berbahasa Bali) yaitu majalah Satua dan Canangsari yang dirintisnya bersama almarhum Made Sanggra tahun 1998.

"Dulu sebelum Pak Sanggra meninggal, beliau membantu penerbitan majalah ini, dikasi uang 500 ribu.

Namun sejak beliau meninggal tahun 2005, saya menerbitkan pakai uang sendiri," katanya.

Setiap terbit majalah ini, I Nyoman Manda mengeluarkan uang sebesar Rp 2,4 juta.

Baca Juga : BERITA DUKA: Ibunda Roger Danuarta Meninggal Dunia

Belum lagi untuk menerbitkan buku, yang dalam setahun ia bisa menerbitkan enam buku.

Selain kendala biaya, Manda juga terkendala dalam hal penjualan buku karena memang buku berbahasa Bali, khususnya yang bergenre sastra Bali modern, memang tidak banyak yang membeli.

"Setiap menerbitkan buku, tidak berani menerbitkan banyak-banyak, paling 100 eksemplar saja. Tidak ada yang beli, yang beli hanya mahasiswa yang mau kerjakan skripsi," keluhnya.

Saat ini, kata I Nyoman Manda, banyak mahasiswa yang datang untuk membuat skripsi tentang novel karyanya.

Baca Juga : Polisi Kesulitan Mencari Cara Ambil Jenazah Turis Amerika di Pulau Sentinel, Ahli Sarankan Lakukan Hal Ini untuk Berinteraksi dengan Suku Sentinel

Hal ini lantaran tak banyak penulis novel berbahasa Bali yang aktif di Bali.

"Novel baru banyak yang beli, tapi itupun mahasiswa untuk skiripsi.

Makanya saya punya banyak skripsi di rumah.

Mahasiswa yang skripsian ngasi saya kamben makanan sehingga nama saya banyak tercantum di dalam skripsi mahasiswa Bahasa Bali di Unud, Unhi, IHDN, juga Undiksha," katanya.

Baca Juga : Kaisar Jepang Akihito Lakukan Ritual Niiname Sebelum Turun Tahta

I Nyoman Manda juga mengaku memiliki kisah yang unik.

Saat karyanya yang berjudul Gending Pengalu masih di laptop dan belum diterbitkan, ada mahasiswa yang mencari ke rumahnya untuk dipakai tesis S2.

"Datang ke rumah mau buat tesis S2 dari karya saya.

Padahal novel itu masih di laptop dan belum diterbitkan sehingga saya kasi itu karena semua novel saya yang terbit sudah diulas," kata penulis yang telah memperoleh Hadiah Sastera Rancage tiga kali ini.

Baca Juga : Begini Kehidupan Suku Sentinel di Pulau Seukuran Kota Manhattan

Juga ada orang dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang datang ke rumahnya untuk membuat film dokumenter.

Pihak Perpusnas yang datang memuji majalah berbahasa Bali yang ia terbitkan karena di Bali jarang ada majalah berbahasa Bali.

"Jengahang, biar tidak kalah sama Sunda. Sunda kan kuat ada Majalah Mangle.

Tapi majalah ini tidak laku, mungkin tampilannya kurang menarik. Guru-guru bahasa Bali pun tak ada yang beli. Mau bagaimana lagi," katanya.

Baca Juga : Media Luar Negeri Sebut Komentar Edy Rahmayadi Soal Wartawan dan Timnas Indonesia 'Konyol'

Menurut pengakuannya, semua karya yang telah diterbitkannya ada di perpustakaan Leiden Belanda.

"Untung perpustakaan Negeri Belanda di Leiden bagus dokumentasinya.

Setiap buku atau majalah saya terbit saya kirim ke sana.

Profesor Darma Putra bilang, semua buku saya ada di sana," imbuhnya.

Baca Juga : Polisi Temukan Tumpukan Uang Senilai Rp 325 Triliun Hingga Binatang Buas di Rumah Seorang Bandar Narkoba

Pernah juga karyanya dibacakan di salah satu radio Australia.

Januari 2019 ini ia berencana menerbitkan ulang buku yang dianggapnya bagus semisal Bungan Cengkehe Nedeng Mabunga.

Buku tersebut merupakan kumpulan drama berbahasa Bali yang dulu dipentaskan keliling Bali.

"Ini pekerjaan yang tidak menghasilkan hasil banyak. Butuh pengabdian, paling banter bapak dapat penghargaan saja, walaupun buku tidak banyak yang laku," katanya.

Baca Juga : Ternyata Mayoritas Kelompok Pembunuh Jamal Khashoggi Adalah Anggota Militer Arab Saudi

Berbagai penghargaan juga telah ia terima baik Widya Pataka, Wijaya Kusuma, Rancage, dan penghargaan lain termasuk berbagai juara lomba.

"Saya juga menerbitkan buku puisi setebal 3000 halaman. Puisi itu saya kumpulkan. Ya seperti orang gila, saya tulis sendiri terbitkan sendiri. Dan buku puisi Bali memang jarang ada yang membeli," ungkapnya.

"Memang pekerjaan ini tidak menghasilkan apa-apa. Ini karena suka dan anggap sedang ngayah," katanya sembari tersenyum. (*)

Artikel ini pernah tayang di Tribun Bali dengan judul Karya Sastranya Tak Laku di Bali, Malah Dikoleksi di Belanda, Nyoman Manda: yang Beli Mahasiswa