Find Us On Social Media :

Donald Trump Tak Sudi Terima Kepulangannya ke Amerika, Hoda Muthana Menyesal Tinggalkan AS Demi Masuk ISIS

Donald Trump Tak Sudi Terima Kepulangannya ke Amerika, Hoda Muthana Menyesal Tinggalkan AS Demi Masuk ISIS

Laporan Wartawan Gridhot.ID, Septiyanti Dwi Cahyani

Gridhot.ID - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dengan tegas menolak setiap perempuan yang tergabung dalam kelompok ISIS masuk ke negaranya.

Hal ini disampaikan Donald Trump lewat cuitannya di akun Twitter @realDonaldTrump.

Dalam cuitannya, Donald Trump mengatakan bahwa dirinya sudah menginstruksikan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo agar memblokir setiap perempuan yang masuk ke dalam jaringan ISIS.

Rupanya cuitan ini ditujukan khusus untuk Hoda Muthana.

Baca Juga : Bukan Raja Arab atau Ratu Inggris, Ternyata Inilah Sosok Pemimpin Dunia yang Membuat Donald Trump Takluk Saat Berhadapan dengannya

"Saya telah menginstruksikan Menteri Luar Negeri, Mike Pompeo dan dia sangat setuju untuk tidak mengizinkan Hoda Muthana masuk kembali ke Amerika" tulis Donald Trump dalam cuitannya kala itu.

Dilansir dari The Guardian, Hoda Muthana merupakan seorang wanita kelahiran Amerika yang meninggalkan Alabana demi bergabung dengan kelompok ISIS pada tahun 2014 lalu.

Ia mengatakan kepada Guardian bahwa ia menyesal karena telah meninggalkan AS dan memilih bergabung dengan kelompok ISIS dengan putranya yang baru berusia 18 bulan.

Muthana yang ditangkap oleh pasukan Kurdi setelah melarikan diri dari tanah yang dikuasai ISIS mengatakan bahwa dia sangat menyesal.

Baca Juga : Suku Sentinel dalam Catatan Turis Amerika: Mereka Sepertinya Sedang Melontarkan Makian

Dan kini, ia pun harus memohon agar diiizinkan kembali ke keluarganya di Alabana, Amerika Serikat.

Sementara itu, Menlu AS Mike Pompeo juga mengatakan bahwa ia akan menolak Hoda Muthana kembali ke Amerika.

Bahkan, Pompeo juga mengatakan bahwa Hoda Mothana bukanlah warga AS.

"Hoda Muthana bukan warga negara AS dan tidak akan pernah diterima di Amerika Serikat" kata Pompeo dalam sebuah pernyataan sebagaimana dikutip dari Kompas.com.

Baca Juga : Demi Hindari Bentrokan dengan Suku Sentinel, Pemerintah Putuskan Tak Mengambil Jenazah Turis Amerika di Pulau Sentinel

"Dia tidak memiliki basis legal, tidak ada paspor AS yang valid, tidak ada hak untuk paspor atau visa bepergian ke AS" lanjutnya.

Melansir dari Kompas.com, Hoda memang dibesarkan di Alabana.

Ia diyakini melakukan perjalanan ke Suriah dengan paspor AS.

Namun, dalam penyelidikan ditemukan bahwa Hoda tidak berhak atas paspornya karena ia tidak pernah menjadi warga negara AS.

Baca Juga : Polisi Kesulitan Mencari Cara Ambil Jenazah Turis Amerika di Pulau Sentinel, Ahli Sarankan Lakukan Hal Ini untuk Berinteraksi dengan Suku Sentinel

"Kewarganegaraan Hoda Muthana tidak dicabut karena dia tidak pernah menjadi warga negara" ujar seorang pejabat AS.

Hoda disebutkan sebagai seorang anak diplomat dari Yaman.

Sementara anak-anak diplomat tidak secara otomatis diberi kewarganegaraan.

Namun, hal ini berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Hassa Shiby, pengacara Hoda.

Baca Juga : Gunakan Jasa Pengacara dari Amerika untuk Gugat Boeing, Keluarga Korban Lion Air JT610: Saya Mencari Keadilan untuk Putra Saya

Shiby memperlihatkan akta kelahiran Hoda yang menyatakan bahwa perempuan itu lahir di New Jersey, Amerika Serikat pada 1994.

Shiby juga mengatakan bahwa Hoda memiliki paspor yang sah.

Lebih lanjut, Shiby mengatakan jika kliennya itu bersedia menerima akibatnya karena telah melanggar hukum.

"Dia adalah warga negara AS. Dia memiliki paspor yang sah.

Baca Juga : 3 Analisis Deddy Corbuzier Soal Vicky Prasetyo Grebek Rumah Angel Lelga: Sebut Angel Benar-benar Selingkuh Hingga Settingan

Dia mungkin telah melanggar hukum, dan jika dia melakukannya, dia bersedia menerima akibatnya" katanya.

Jika nanti terbukti bersalah, Hoda disebutkan bersedia menjalani proses hukum dan masuk penjara.

Keputusan AS terkait Hoda ini muncul di tengah perdebatan tentang nasib Shamina Begum yang dicabut kewarganegaraannya dari Inggsris usai bergabung dengan ISIS di Suriah. (*)