Begitu pula nasib yang dialami ayahnya. Sekalipun pendidikannya lebih tinggi, ia tetap buruh, sedangkan kepalanya, orang Belanda yang lulus sekolah dasar saja tidak, lagi tolol dalam pekerjaan.
Oleh anaknya, Abdullah dilukiskan sebagai seorang Muslim liberal. Liberal dalam arti membiarkan anak-anaknya memilih ideologi, lapangan hidup, dan kawan hidup menurut kehendak mereka sendiri-sendiri.
Sekitar tahun 1937, Bung Aidit pergi di Jakarta, masuk sekolah dagang sambil mengikuti kursus bahasa-bahasa asing. Namun karena biaya macet, sekolahnya tidak sampai tamat.
Bung Aidit suka sekali ke museum membaca buku-buku. Ganyangannya buku-buku sosiologi dari penulis-penulis bukan Marxis, Adler, Vierkandt, Max Weber, Le Bon, Rolandhols, dan Kautzky. Sebab, pandangan mereka tak memuaskan hatinya. Berbeda halnya saat dia membaca buku Manifesto Komunis dan buku-buku Marx dan Lenin lainnya.
Diceritakan, Bung Aidit memiliki mata yang tajam dan roman muka yang menunjukkan intelegensia tinggi. Hal itu mungkin cermin dari dinamis jiwanya.
Dinamik Bung Aidit di Jakarta disalurkan pada kehidupan organisasi. Dia memasuki Persatuan Timur Muda. Anggotanya dari aneka macam golongan termasuk keturunan Arab dan Tionghoa.
"Sejak dulu saya menentang rasialisme," kata Bung Aidiit.
Bung Aidit punya banyak kenalan seperti Wikana pemimpin Gerindo dan Amir Sjarifudin SH.