Laporan Wartawan Gridhot.ID, Candra Mega
Gridhot.ID - Sosok perwira TNI AL bernama John Lie mungkin tak asing lagi di era kemerdekaan.
Berjuluk "Hantu Selat Malaka", John Lie sangat ahli menyelundupkan senjata untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan NKRI.
Aksi John Lie dalam menyelundupkan senjata lewat laut sering kali lolos dari kepungan kapal-kapal penjajah Belanda.
Melansir dari Kompas, perjalanan John dimulai ketika ia dan teman-teman pelautnya asal Indonesia yang bekerja di maskapai pelayaran KPM (Koninlijk Paketvaart Maatschapij) pulang ke Tanah Air.
Mereka pulang ke Indonesia setelah kekalahan Jepang akibat pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945.
Selama perjalanan pulang ke Indonesia, John singgah ke Singapura selama 10 hari.
Tujuannya, untuk mempelajari sistem pembersihan ranjau laut dari Royal Navy dan taktik perang laut di Pelabuhan Singapura.
John sengaja mempelajari taktik perang laut demi memuluskan rencananya bergabung ke laskar perjuangan.
Kendati demikian, setiba di Indonesia, John tidak langsung bergabung ke laskar perjuangan. Ia memilih mengumpulkan uang di Yogyakarta.
Pada Mei 1946, John Lie menemui pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS) Hans Pandelaki dan Mohede di Jalan Cilacap, Menteng, Jakarta.
Dilansir dari buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran yang ditulis wartawan Kompas, Iwan Santosa, John mulai bergabung dengan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS) pada Mei 1946.
John diterima sebagai anggota KRIS Barisan Laut dan diberi surat pengantar untuk bertemu AA Maramis yang saat itu menjabat menteri keuangan.
Maramis lantas meminta John Lie menghadap Kepala Staf Angkatan Laut RI (ALRI) Laksamana M Pardi di Yogyakarta.
Kepada Pardi, John bercerita betapa ingin sekali ikut mempertahankan kemerdekaan NKRI melalui pertahanan maritim dan menyampaikan keahlian yang dipelajarinya di Singapura.
Singkat cerita, Pardi lantas menandatangani izin bergabungnya John di ALRI.
John pun diangkat sebagai Kelasi III. John diberi mandat oleh Pardi pada 29 Agustus 1946, untuk pergi ke Pelabuhan Cilacap, bergabung bersama ALRI di sana.
Berangkatlah John ke Cilacap dengan menumpang gerbong pos di kereta api uap dari Yogyakarta.
Pada September 1947, Kepala Urusan Pertahanan di Luar Negeri membeli sejumlah kapal cepat.
Pemerintah kemudian menyaring personalia yang layak untuk mengawaki satuan kapal cepat yang digunakan untuk memasok kebutuhan perlengkapan perjuangan Indonesia.
John Lie ditunjuk untuk memimpin kapal cepat bernama "The Outlaw" dan melakukan operasi rute Singapura-Labuan Bilik dan Port Swettenham.
Saat itulah cerita legendaris suksesnya John lolos dari kepungan Belanda untuk menyelundupkan senjata dimulai.
Pada Oktober 1947, John mencatat "The Outlaw" memuat perlengkapan militer berupa senjata semi otomatis, ribuan butir peluru dan perbekalan dari salah satu pulau di Selat Johor ke Sumatera.
Namun, saat kapal tengah berada di Labuan Bilik, pesawat Belanda terlihat terbang rendah mengitari pelabuhan.
Pesawat tersebut meminta "The Outlaw" meninggalkan pelabuhan. John yang enggan meninggalkan pelabuhan, beralasan kapal sedang kandas dan tidak bisa ke mana-mana.
Pesawat Belanda lantas mengarahkan dua senapan mesin melalui dua juru senjatanya ke arah "The Outlaw".
Namun, usai memutar dan agak menukik, pesawat Belanda justru meninggalkan "The Outlaw". John masuk ke kabin kemudian berlutut.
Ia berdoa, mengucap syukur atas kemurahan dan kasih Tuhan, "The Outlaw" menjadi berwibawa di hadapan juru tembak pesawat yang memutuskan pergi.
Belakangan, diketahui pesawat Belanda itu pergi karena menipisnya bahan bakar. Misi pertama John pun sukses.
Ia bersama 22 awak kapalnya membongkar muatan senjata dan amunisi dan diserahkan ke Bupati Usman Effendi serta komandan pejuang setempat, Abu Salam.
Pada Agustus 1949, "The Outlaw" menjalani perbaikan total dengan naik galangan atau docking di Penang.
Selesai perbaikan, "The Outlaw" kembali ke Phuket menjemput awak kapal. John dan rombongan berlayar kembali ke Aceh.
Saat kapal memasuki Delta Tamiang, kapal Belanda menghadang. Dengan membabibuta, kapal penjajah menembakkan meriam ke badan "The Outlaw".
Suasana sangat mencekam. Peluru mendesing-desing. Ledakan terjadi di jarak 3 meter tempat John Lie berlindung. Dalam kondisi mencekam itu, "The Outlaw" sama sekali tidak berdaya.
Namun, keajaiban datang, kapal Belanda mengalami kandas di karang sehingga tidak bisa bergerak lagi. "The Outlaw" melarikan diri bersembunyi di Delta Tamiang.
Meski lolos dari armada laut Belanda, "The Outlaw" disergap armada udara penjajah. Namun, lagi-lagi keajaiban terjadi.
Juru tembak Pesawat Belanda hanya berputar-putar di atas Delta Tamiang. Mereka seakan tidak melihat "The Outlaw" di bawahnya.
Baca Juga: Dulu Atlet Lari, Anggota TNI Ini Kini Jadi Orang Dekat Presiden Jokowi, Ini Sosoknya
"Roh Kudus membungkus kami," ujar John dalam memoarnya.
Kemudian, John memutuskan "The Outlaw" kembali ke Penang. Saat itu, satu baling-baling mesin kapalnya copot karena serangan armada laut Belanda.
Dipastikan sulit untuk melarikan diri jika dikejar Belanda.
Keesokan harinya, pagi-pagi buta, "The Outlaw" sudah sedikit lagi memasuki Selat Malaka.
Namun, di tengah kegelapan, sebuah kapal tanker milik Belanda melintas. Nakhoda kapal tangker Belanda kemudian menghubungi patroli militer.
Tak lama kemudian, kapal patroli Belanda kembali menghadang "The Outlaw". Senapan api dan tembakan keras meriam Bofors memecah kesunyian laut.
John menyadari jarak ke Penang masih jauh, ia dan awak pasrah. John tak menyadari kapal Belanda mengirimkan sandi morse agar "The Outlaw" menyerah.
Akan tetapi, keajaiban kembali turun. Cuaca buruk tiba-tiba saja melanda perairan. Hujan turun dengan sangat deras disertai kabut yang menyelimuti permukaan laut.
Gelombang laut tiba-tiba mulai berkecamuk. Kapal tanker Belanda pun tidak lagi bisa mengejar "The Outlaw" dengan cuaca yang demikian.
Adapun perjalanan mencekam Phuket-Aceh itu juga terus dipantau radio BBC di London.
Penyiar BBC menyebut, "The Outlaw" dengan segala pengalamannya lolos dari sergapan kapal Belanda adalah kejadian di luar nalar.
Pada 30 September 1949 atau tepat satu bulan setelahnya, John dipindahkan ke Bangkok.
Ia ditugaskan di Pos Hubungan Luar Negeri. Tugasnya di darat sama saja, mendapatkan pasokan senjata yang lebih banyak untuk para pejuang di Tanah Air.
John kemudian melanjutkan tugasnya di TNI AL dalam sejumlah misi penting. Mulai dari penumpasan DI/TII Kartosuwiryo, penumpasan RMS hingga PRRI-Permesta.
Pangkat tertinggi John adalah Laksamana Muda, pangkat tertinggi bagi pejuang keturunan Tionghoa di Indonesia.
Pada 27 Agustus 1988, John erpulang ke pangkuan Tuhan. Anak asuh, pengemis, anak jalanan dan gelandangan memenuhi kediamannya di Menteng, Jakarta Pusat.
Seorang Tionghoa yang selama ini menyantuninya telah pergi untuk selama-lamanya.
Pemerintah Indonesia, ketika masa pemerintahan SBY, pada 9 November 2009 menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana kepada mendiang John Lie.
Kisah perjuangan John Lie ini pun dibagikan oleh Facebook Komunitas Secangkir Kopi pada 5 Januari 2017 lalu.
Dituliskan, "The Outlaw" berlari menembus malam dan terus maju menghadang gelombang.
Tanpa lampu dalam kegelapan, kapal itu berupaya menghindar dari sergapan kapal patroli Belanda.
(*)