Gridhot.ID - Timor Timur menjadi salah satu negara yang negara yang sistem kesehatannya sangat perlu diperhatikan.
Para dokter yang bertugas ke sana selalu saja memiliki kisah memilukan dari negara tersebut.
Salah satu kisahnya datang dari tenaga medis yang satu ini.
Dr. Nurkukuh mendapat kesempatan ikut serta dalana tim kesehatan Timor Timur yang merupakan kerjasama Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dengan badan-badan yang memberi bantuan disana yaitu CRS dan OXFAM.
Bersama 3 dokter dan 6 paramedis mereka bekerja selama 2 bulan di kecamatan Laga dan kecamatan Quelicai wilayah Kabupaten Baucau Propinsi Timor Timur.
Kisah ini berlangsung ketika Timor Timur masih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diterbitkan di Majalah Intisari edisi September 1980, dengan judul Kampanye Mandi di Tim-tim.
Seperti pada umumnya masyarakat dari negara sedang berkembang, faktor kemiskinan dan ketidaktahuan merupakan hal yang sangat menyolok di Timor Timur. Sulit dicari orang yang dapat membaca dan menulis.
Ditambah dengan berbagai ragam bahasa yang dipakai di sana. Jadi komunikasi antara kami dengan penduduk asli kurang berjalan lancar. Bahkan penduduk asli dari Sektor Barat misalnya, belum tentu dapat berdialog dengan penduduk Sektor Tengah maupun Sektor Timur.
Baca Juga: 'Saya Sangat Lelah di Sini, Saya Akan Sangat Berterima Kasih Jika Ada Orang yang Memaafkanku'
Menurut keterangan, kira-kira ada 33 macam bahasa yang sangat berbeda dipakai sehari-hari di seluruh wilayah Timor Timur. Tentunya bahasa Portugis banyak dikenal oleh golongan terpelajar, di samping bahasa asli Timtim, Taetun, yang sempat diajarkan di sekolah.
Hanya sayangnya masyarakat terpelajar masih golongan minoritas. Pada tingkat kecamatan atau desa, sangat sulit ditemukan.
Tetapi jangan heran kalau ada persamaannya dengan-bahasa Jawa, misalnya anjing di Timtim = asu, rumah- = omah, lalat juga lalar, tiga diterjemahkan tolu, tujuh adalah vitu dan delapan = walu.
Dalam bahasa Indonesia memanggil gadis dengan sebutan "nona" adalah biasa. Tetapi di Timor Timur jangan coba-coba memanggil gadis dengan "nona", karena "nona" artinya pelacur. Gadis sebutannya "manina".
Makan siang sukun bakar, sarapan mangga muda
Kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah akan selalu berkaitan dengan pola kebiasaan hidup-sehari-hari, dari pola kebiasaan makan minum, sampai kebiasaan dan cara berpakaian.
Makanan sehari-hari orang Timor-Timur sudah tersedia di hutan-hutan. Pagi hari mereka berangkat mengambil makanan. Entah berupa kluwih, sukun, mangga, sayuran dan sebagainya.
Hutan yang penuh dengan hasil bumi itu tidak ada pemiliknya. Siapa cepat, akan dapat mengambil hasil hutan. Hasil hutan yang lain misalnya asem, kemiri, gembili, ubi dan masih banyak lagi. Pada saat ini tanaman jagung cukup banyak terutama di sawah dan di kebun.
Bibit jagung didapat dari bantuan Pemerintah. Juga bibit padi yang sekarang sedang dan akan disemaikan, sepenuhnya jatah dari Pemerintah.
Ada suatu hal yang unik dalam mengolah sawah, bila akan bertanam padi. Timor Timur belum mengenal bajak yang ditarik lembu atau kerbau. Untuk melumat sawah cukup dengan kerbau 10-20 ekor.
Kerbau tersebut disuruh berjalan ke sana kemari terus menerus sepanjang hari. Diharapkan dari injakan puluhan kerbau tersebut, tanah tergarap dengan baik.
Kembali pada soal makanan. Makanan kesukaan yang seolah-olah menjadi makanan pokok sehari-hari ialah sukun bakar. Proses pemasakan cukup sederhana. Sukun yang masih hijau lengkap dengan kulitnya, dibakar. Setelah masak langsung ukun itu dibelah dengan tangan, dan dimakan tanpa tambahan apapun.
Mangga Timtim jangan disamakan dengan mangga arumanis atau mangga kopyor sekali pun. Bentuknya kecil hampir seperti mangga lali jiwo/gurih, dan banyak seratnya. Tetapi pagi-pagi hari kurang lebih jam 06.00 - 07.00 kami kadang-kadang melihat orang Timtim makan mangga bahkan yang muda yang masih putih warnanya.
Sarung, pakaian pokok wanita
Sekarang, cara berpakaian orang Timtim tak ubahnya seperti kita di sini. Tetapi ada ciri khas . masyarakat wanita pedesaan Timtim. Meskipun sudah memakai rok sampai bawah lutut, tetapi tetap berkain sarung. Sarung tersebut dipakai seperti pria jawa memaki sarung. Walau hawa panas tidak perduli, sarung tetap melekat pada badan.
Selain sarung asli tenun Timor sendiri, juga mereka gemar memakai sarung cap/palekat atau batik dari Jawa. Dan memang Pemerintah membagi kain sarung, terutama untuk penduduk pedesaan.
Seperti halnya wanita Bali, maka wanita Timtim juga mempunyai kepala yang serba guna. Untuk membawa air dalam "klenting" cukup ditaruh di atas kepala. Juga membawa beras yang lebih kurang 25 kg beratnya. Sayuran atau mangga yang jumlahnya hanya satu pun dibawa di atas kepala.
Anti menangis
Sampai saat ini belum ada balai pengobatan di tingkat kecamatan. Dcngan adanya tim kesehatan ini, berduyun-duyun rakyat datang. Tiap han rata-rata kami mengobati 400 - 500 penderita, kadang-kadang enam ratus penderita lebih.
Kebanyakan penderita dengan keluhan panas dan menggigil. Memang malaria sudah endemik di sini. Di samping itu tidak kurang 60% penduduk mempunyai borok. Dari penderita borok tersebut, rata-rata tiap orang mempunyai 2 borok dengan ukuran rata-rata sebesar uang benggol.
Bahkan ada yang meluas dari pertengahan tungkai bawah sampai jari kaki. Di samping itu ada penderita yang mempunyai 12 buah borok.
Penyakit yang menyerang anak umumnya penyakit cacing, askariasis. Hampir 100% tiap anak mempuhyai cacing. Dengan sekali minum obat, rata-rata keluar 20 cacing. Ada yang mengeluarkan cacing sampai sebanyak 37 ekor.
Yang membuat saya heran ialah sikap anak-anak waktu diobati. Mereka biasanya datang sendiri tanpa diantar orang tuanya atau saudaranya. Meskipun umur 5-6 tahun, mereka tidak takut untuk wawancara dengan dokter.
Mereka menjawab semua pertanyaan tanpa ragu-ragu. Dan yang lebih mengherankan, tidak ada satu pun yang menangis waktu disuntik. Nah, itulah kelebihan, anak Timtim. Sifat kecengengan jauh dari mereka.
Urutan data penyakit dan masalahnya
Penyakit malaria menduduki tempat teratas dalam urutan penderita yang berobat. Kemudian borok, disusul penyakit cacing. Baru kemudian penyakit saluran napas atas misalnya batuk pilek. Urutan ke lima penyakit diare, radang mata, kurang darah. Malnutrisi tidak kelihatan menyolok.
Dengan melihat macam-macam penyakit tersebut, jelas timbulnya penyakit adalah akibat kurang kebersihan diri dan kebersihan lingkungan seperti halaman, rumah, jalan-jalan yang sangat jelek.
Ditambah pengetahuan tentang makanan sehat yang nihil dan faktor sosio-budaya yang belum memungkinkan. Di samping juga faktor tenaga kesehatan yang hampir dapat dikatakan sangat kurang, bahkan tidak ada.
Kampanye mandi
Masalah buang air besar merupakan masalah yang paling penting dalam meningkatkan kebersihan lingkungan. Bila kita berjalan-jalan di kota kecamatan Laga, jangan coba-coba menengok ke kanan atau ke kiri, karena sepanjang jalan besar maupun lorong-lorong penuh dengan tumpukan kotoran manusia, yang baunya sudah barang tentu menusuk hidung.
Mengapa rakyat di situ terbiasa demikian? Karena waktu itu Pemerintah Portugis melarang rakyat buang air di sungai, sebab sungai dipergunakan untuk mandi, cuci, dan air minum.
Sayangnya, perintah ini tidak diteruskan dengan perintah untuk buang air di kakus. Maka akhirnya sudah menjadi kebiasaan. Ini tentu saja sulit untuk diubah secara cepat. Meskipun di kecamatan Quelicai hal demikian sudah hampir berkurang.
Ini oleh karena tindakan Koramil dan Camat setempat yang cukup tegas bahkan dengan kekerasan. Akhirnya rakyat sanggup untuk jongkok di kakus.
Mereka paling-paling seminggu hanya mandi satu kali. Dan pakaian pun baru dicuci setelah berbulan-bulan. Dengan penyuluhan yang terus-menerus akhirnya sikap ini dapat diubah sedikit demi sedikit.
Segala macam cara dicoba diterapkan. Antara lain, bila ingin minta surat pada Kecamatan/Koramil, diharapkan mandi dulu. Atau yang belum mandi tidak akan diobati sakitnya. Keberhasilan ini dapat dibuktikan dengan larisnya sabun mandi.
(*)