Find Us On Social Media :

Refly Harun: Kalau Gara-gara Berbohong Presiden Dijatuhkan, Tidak Akan Ada Presiden di Republik Ini

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun dalam tayangan Indonesia Lawyers Club, Selasa (28/1/2020) Artikel ini telah tayang di Tribunwow.com dengan judul Di ILC, Refly Harun Pesimis pada Pemerintahan Jokowi, Ungkit Mulan Jameela: Pembalap dalam Tikungan, https://wow.tribunnews.com/2020/01/29/di-ilc-re

Gridhot.ID - Wabah corona memang sedang membuat negara kewalahan.

Ekonomi yang terhenti membuat semuanya hampir menjadi kacau balau.

Namun di tengah peliknya permasalahan pandemi virus corona, Refly Harun membahas proses pemberhentian presiden dari jabatannya.

Baca Juga: Ambrukkan Moral Bertempur Fretelin, Pasukan Legendaris Satgas Rajawali Kompi Pemburu Ternyata Bentukan Sosok Ini, Bikin Gerombolan Pengacau Keamanan Ciut Nyali Hingga Jadi Cikal Bakal Raider TNI

Hal itu disampaikan dalam tayangan YouTube Refly Harun pada 11 Mei 2020.

Kala itu, seorang warganet yang mengaku sebagai mahasiswa Fakultas Hukum bertanya tentang upaya pemberhentian presiden.

Dia menanyakan perihal Undang-undang Dasar Pasal 7A, dimana Presiden dan Wakil Presiden dapat dijatuhkan jika melakukan perbuatan tercela.

Baca Juga: Dulu Pacaran dengan Raffi Ahmad, Pesinetron Ini Sekarang Pilih Berhijrah dan Menutup Aurat, Katakan Hal Ini Usai Dikaruniai Anak Perempuan

Lebih lanjut mahasiswa itu meminta pengamat politik sekaligus ahli hukum tata negara itu untuk menjelaskan perbuatan tercela yang seperti apa yang dimaksud dalam pasal tersebut.

Sebab menurutnya, berbohong juga bagian dari melakukan perbuatan tercela.

Refly pun menanggapi pertanyaan mahasiswa tersebut.

Baca Juga: Ngaku Sudah Berhasil Tangani Wabah, Wuhan Kepergok Bakal Tes Virus Corona ke Semua Penduduknya, Ketakutan Ini Muncul Tiba-tiba

"Kalau gara-gara berbohong presiden dijatuhkan mungkin tidak akan ada presiden di republik ini," kata Refly mengawali pembahasan, seperti dikutip Sosok.ID, Selasa (12/5).

"Kadang-kadang berbohong itu juga penting untuk kebaikan, pemimpin kadang-kadang harus berbohong bukan karena ia ingin berbohong untuk hal-hal buruk, tergantung situasinya" ungkapnya.

Menurut Refly, kebohongan presiden pasti didasari atas hal-hal yang baik untuk masyarakat, misalkan untuk membakar semangat orang-orang yang dipimpinnya.

Baca Juga: Kelamaan Lockdown, Mall Ini Rugi Bandar Tahu Semua Barang Dagangannya Berjamur Parah, Dulu Harganya Mahal Kini Tak Punya Daya Jual

Lebih lanjut Refly menjelaskan, proses pemberhentian presiden saat ini tidak semudah era Soekarno.

Mulanya Refli menjelaskan mengenai UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 169 huruf j yang berbunyi:

"Yang dimaksud dengan "tidak melakukan perbuatan tercela" adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma susila, dan norma adat, seperti jdui, mabuk, pecandu narkotika, dan zina."

Baca Juga: Kasus Ferdian Paleka Viral di Inggris, Netizen Luar Negeri Langsung Emosi, Sebut Sang Youtuber Pantas Dapat Hukuman Berat

Refly mengungkapkan pasal tersebut tidak bersifat limitatif, namun lebih kepada kepantasan.

"Sejauh mana perbuatan tercela itu dianggap tidak pantas dan presiden bisa dijatuhkan," jelasnya.

Refly mengatakan, berbohong bisa saja menjatuhkan presiden, tetapi kita harus melihat konteks berbohong yang seperti apa.

Baca Juga: 4 Tahun Lalu Saudara Kembarnya Tewas Secara Tragis Kerena Kopi Sianida, Begini Kabar Sandy Salihin Sekarang, Kedapatan Lakukan Hal Ini Saat Rindu Wayan Mirna

"Misalnya, konteks berbohongnya itu adalah konspirasi untuk menggelontorkan keuangan negara tanpa sebuah proses good governance atau clean government, bisa saja kemudian," lanjutnya.

"Memang celah ini adalah celah yang sangat dinamis," ungkap Rafly.

Kendati demikian, Rafly menegaskan bahwa pemberhentian presiden era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tidak semudah di era Bung Karno pada tahun 1967.

Baca Juga: Berhasil Tendang Halimah dari Pelukan Bambang Trihatmodjo, Mayangsari Kaget Saat Tahu Sifat Asli Sang Suami, Ibu Khirani: Aku Nggak Bisa Terus Pura-pura Baik

Termasuk pada era Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada tahun 2001.

"Karena dulu belum ada MK (Mahkamah Konstitusi)," kata Refly.

Pakar hukum tata negara itu menyebut, jika ingin menggulingkan Jokowi di saat ini, prosesnya akan lebih rumit.

Baca Juga: FBI Angkat Bicara, China Dituding Kirim Hacker untuk Bobol Data Penelitian Vaksin Corona, Tiongkok: Kami Memimpin Dunia dalam Pengobatan Covid-19

"Kalau sekarang, DPR menginisiasi, lalu ke MK, balik ke DPR, lalu ke MPR, baru bisa presiden jatuh. Dan di MK sendiri harus sidang pembuktian selama 90 hari," jelas Refly.

Meski demikian, Refly berharap agar upaya-upaya pemberhentian itu tak terjadi di masa kepemimpinan Presiden Jokowi.

"Mudah-mudahan kita tidak mengalami proses penjatuhan presiden di tengah jalan. Proses yang berjalan mudah-mudahan konstitusional dan presiden yang berkuasa tetap didukung, mengambil kebijakan yang berpihak kepada masyarakat," harapnya.

Baca Juga: Bikin Laut China Selatan Panas Sampai Dimusuhi Banyak Negara, Tiongkok Lagi-lagi Buat Gara-gara, Adu Tembak dengan Militer India di Himalaya Hingga Timbul Korban Jiwa

"Semoga tidak ada penunggang-penunggang gelap yang bergentayangan di sekitar kekuasaan dan istana," paparnya.

Lihat tayangan berikut dari menit ke 16:20.

Adapun melansir Kompas.com dalam artikel yang berjudul "Penggulingan Presiden Jokowi?", muncul isu kontroversial yang menyebutkan makar berusaha menggulingkan Presiden Jokowi.

Baca Juga: Kacau! 'Disaksikan' Jokowi, Anies Baswedan dan Para Menteri Gontok-gontokan soal Data Bansos Warga Miskin di DKI

Isu makar tersebut dicari tahu oleh jurnalist Kompas TV, Aiman Witjaksono yang mewawancara narasumber Allan Nairn, wartawan Amerika yang berkecimpung di bidang investigatif selama 40 tahun lamanya.

Kerap datang ke Indonesia untuk meliput hal-hal yang berkaitan dengan HAM, Allan kembali datang untuk membuat laporan di semua titik kritis Indonesia.

Artikel ini telah tayang di Sosok.ID dengan judul Hendak Digulingkan? Refly Harun Jelaskan Mekanisme Pemberhentian Presiden: Tidak Semudah Era Bung Karno.

(*)