Ayahnya Gugur Karena PKI, Putri Jenderal Achmad Yani Selalu Teringat Peristiwa Kelam Saat Memasuki Bulan September, Sampai Harus Sembunyi 20 Tahun di Desa Terpencil

Sabtu, 13 Juni 2020 | 18:25
tribunnewswiki.com

Amelia Achmad Yani, salah satu putri Jenderal Achmad Yani.

Gridhot.ID - Isu bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali menjadi perbincangan hangat.

Tak hanya kali ini saja isu ini beredar, sebelumnya juga sempat beredar sebuah foto yang memuat logo PKI yang disebut menandakan bangkitnya PKI.

Namun, aparat kepolisian memastikan bahwa foto yang beredar tersebut adalah hoax.

Baca Juga: Selama Ini Dianggap Pentolan, DN Aidit Nyatanya Bukan Apa-apa, Dua Sosok Inilah Dedengkot Asli PKI yang Terima Mandat Langsung dari Stalin

Baru-baru ini isu PKI kembali hadir dan berkaitan dengan ramainya warganet yang mendengungkan tagar #boikotwikipedia.

Tagar tersebut diserukan terkait dengan informasi soal PKI di Wikipedia yang bertajuk Pembantaian di Indonesia 1965-1966.

Pada dasarnya, isu PKI memang sensitif di masyarakat Indonesia.

Baca Juga: Temuan Coretan Palu Arit di Purbalingga, Warga Desa Tak Terima di Cap Antek PKI, Tuding Petugas DPU Jadi Dalang Dibaliknya

Sebab, beberapa orang masih trauma dengan kasus PKI.

Salah satunya adalah Amelia Achmad Yani, salah satu putri Jenderal Achmad Yani.

Sebab Amelia Achmad Yani sempat tinggal lebih dari 20 tahun di sebuah desa kecil untuk menepi dari keramaian kota.

Dilansir oleh Kompas.com pada 10 Oktober 2017 silam, melalui wawancara khusus wartawan Widianti Kamil, Amelia Yani sedang berada di Sarajevo, dalam tugasnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Bosnia-Herzegovina.

Baca Juga: Jadi Motor Utama Penculikan 7 Jenderal Revolusi, Pasukan Cakrabirawa Langsung Dicap Pendukung PKI, Dibubarkan Paksa Padahal Punya Kekuatan Mumpuni

Amelia Jenderal Achmad Yani adalah anak ketiga dari delapan putri dan putra almarhum Jenderal Jenderal Achmad Yani dan almarhumah Yayu Rulia Sutowiryo.

Seperti diketahui bersama Jenderal Achmad Yani adalah seorang pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa pada tanggal 30 September - 1 Oktober 1965 oleh kelompok yang mengatasnamakan Gerakan 30 September/G30S di Jakarta.

Ingatan Amelia Yani terhadap peristiwa G30S selalu muncul sebagai peristiwa kelam saat memasuki bulan September.

Baca Juga: Sedang dalam Rapat Kabinet, Soekarno Tak Bisa Sembunyikan Ketakutan Kala Pasukan Suruhan Soeharto Kepung Istana Merdeka, Setelahnya Ini yang Terjadi

"Seperti sebuah potret yang berjalan," kata Amelia Yani.

Dituturkan olehnya bahwa ia selalu mengadakan tahlilan di mana ia sedang berada.

"Dan, saya sesuaikan, kalau di sini (di Wisma Indonesia), di Sarajevo (Bosnia-Herzegovina), saya sesuaikan tanggalnya dengan di Jakarta, jamnya juga bersamaan."

"Kodam (di Jakarta) membuat tahlilan setelah magrib, di sini jam satu (13.00 waktu Sarajevo),". kata Amelia.

Baca Juga: Pernah Jadi Tawanan Jepang dan Inggris, Inilah Sepak Terjang D.N Aidit di Dunia Politik, Sebut Kekuatan Terbesar PKI Berada di Tangan Rakyat

Ditanya perihal buku yang ditulis tentang ayahnya dan peristiwa G30S, Amelia menuturkan bahwa tujuannya adalah ingin agar generasi muda belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya (terutama peristiwa G30S).

"Saya pikir tadinya, anak muda itu banyak yang terkait hal-hal yang negatif. Saya pikir seperti itu,"

"Ternyata, banyak sekali pemuda Indonesia, mahasiswa, yang sangat cinta, untuk mengetahui sejarah bangsa sendiri."

Baca Juga: Puji Dul Jaelani Punya Banyak Kemiripan dengan H.O.S Tjokroaminoto, Maia Estianty Bikin Sang Anak Keharanan: Jangan Jangan...

"Begitu mereka menghubungi saya lewat Facebook, saya menulis tiap malam, untuk mereka, seperti apa pengorbanan itu."

"Saya salah satu anak Pak Yani, yang mungkin, apa ya, merasakan betul secara hati nurani saya."

"Ketika ibu saya selalu bilang begini, Kenapa bapakmu dibunuh, salah apa dia?"

"Setiap hari pembicaraannya itu terus, seperti tidak ada jawaban."

Baca Juga: Kayu Jatinya dari Jawa, Viral Kereta Kencana Berlapis Emas Milik Ratu Wilhemina yang Banggakan Budak-budak Belanda, Gadingnya Berasal dari Sumatera

"Dan, kemudian, saya mencari jawaban itu dengan menulis."

"Saya mulai mewawancarai Pak Nasution (AH Nasution), Pak Sarwo Edhie, Pak Soemitro,"

"Semua saya wawancara. Saya tanya, seperti apa ayah saya sebetulnya, lalu kenapa harus dibunuh."

Baca Juga: Lucuti Kebijakan Partai Komunis Tiongkok, Sosok Ini Ibarat Berhasil Rubah Wajah Buruk China dalam Semalam, Boyong Prestasi Mencengangkan dengan Pertumbuhan Ekonomi Hingga 75% Setahun

"Di situ saya (juga) mulai membuka agenda bapak saya. Di situ ada beliau mengatakan, "Kenapa saya jadi prajurit?," ungkap Amelia.

Menurutnya, menulis adalah bagian dari rasa cinta tanah air.

"Karena saya patriot, karena saya cinta Tanah Air."

Itu message, itu penting sekali. Pesan dari orangtua saya itu penting sekali untuk generasi muda.

Baca Juga: Diam-diam Bersekongkol, China Kepergok Ajak Korea Utara Adakan Rapat Rahasia, Ternyata Ini yang Mereka Rencanakan

"Kenapa saya belajar? Untuk jadi apa? Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot."

"Tidak harus jadi prajurit, lho. Tapi, semangat itu ada," kata Amelia.

KOMPAS.com/ATI KAMIL
KOMPAS.com/ATI KAMIL

Amelia Achmad Yani mengadakan upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2017 pagi di Wisma Indonesia Sarajevo

Amelia juga menuturkan bahwa ia sempat bercucuran air mata saat menulis buku tersebut.

Baca Juga: Sandang Sebutan Pembelot Terbesar Sepanjang Sejarah, Inilah Sosok Ion Mihai Pacepa yang Berhasil Obrak Abrik Uni Soviet, Kepalanya Dihargai Sangat Mahal oleh Yasser Arafat dan Muammar Gaddafi

Rasa trauma yang ia alami membangun visualisasi seolah sang ayah datang kembali dan merasa dekat dengannya.

"Seolah-olah saya dibimbing untuk menulis,"

"Kan nulisnya bukan siang hari, saya nulisnya malam hari, jam tiga pagi, jam satu malam, ketika sepi, tidak ada siapa-siapa,"

"Saya seperti ada yang mendorong untuk menulis dan jawaban itu seperti ada di situ," ujarnya.

Baca Juga: Mesra Hingga Rela Berbagi Garis Perbatasan Bersama, Kim Jong Un Kirim Salam ke Presiden China, Xi Jinping Dapat Pesan Ini dari Sang Diktator Korea Utara

Dalam mengobati luka batinnya, Amelia Yani sempat pindah ke sebuah dusun di daerah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada tahun 1998.

Tinggal di desa selama lebih dari 20 tahun membuatnya dapat menyembuhkan dirinya dari rasa dendam, amarah, dan benci.

"Tapi, kemudian, saya pindah ke desa, saya pindah ke sebuah dusun, dusun Bawuk namanya (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1988). Enggak ada listrik."

Baca Juga: Temuan Coretan Palu Arit di Purbalingga, Warga Desa Tak Terima di Cap Antek PKI, Tuding Petugas DPU Jadi Dalang Dibaliknya

"Tinggal di desa itulah yang menyembuhkan saya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dengki."

"Di desa, itu hilang. Lebih dari 20 tahun saya di sana. Jadi hampir seperempat abad, saya ada di desa."

"Ketika itu saya menyekolahkan (mulai SMA) Dimas (anak tunggal) ke Australia,"

"Saya sendiri di desa."

Baca Juga: Bongkar Rahasia di Depan Sahabat Karib, Bung Karno Sebut Tongkatnya Bisa Mengeluarkan Jin, Saat Dicoba Hal Ini yang Terjadi

"Bangun pagi, jam enam saya sudah di sawah."

"Saya punya sawah, saya punya kolam ikan gurame, punya pohon buah-buahan, mangga, saya punya pepaya, pisang."

"Semua, semua saya punya, punya ayam, saya jualan telur ayam, tapi rugi terus, enggak pernah untung, enggak tahu kenapa,"

Baca Juga: Kerap Dipandang Kuat Dalam Praktik Kejawen, Sejarawan Justru Ungkap Soekarno Adalah Sosok yang Memegang Teguh Ajaran Muslim, Keislamannya Berhasil Pengaruhi Arab Saudi hingga Uni Soviet

"Itulah belajar. Saya banyak bergaul dengan petani."

"Saya ke Bukit Menoreh. Kalau orang ingat (buku seri) Api di Bukit Menoreh, saya sudah sampai di ujungnya, di Puncak Suryoloyo itu."

"Waktu malam 1 Suro, mereka semua (warga) ke puncak gunung."

"Dan, saya sudah di sana, saya sudah ke mana-mana," ungkap Amelia

Baca Juga: Dinilai Kontroversial, Inilah Kebijakan Offset yang Pernah Dikeluarkan Soekarno untuk Belanja Alusista dari Rusia dalam Jumlah Besar: Kalau Tidak Bisa Bayar, ya Kemplang Saja

Setelah 20 tahun berlalu atau tahun 2019, Amelia dan anaknya kemudian pindah kembali ke Jakarta.

"Dan setelah tinggal di desa 20 tahun lebih sedikit, anak saya manggil."

Baca Juga: Lama Jadi Pertanyaan, Kebenaran Soal Harta Karun Soekarno di Swiss Akhirnya Terbongkar, Sosok Ini Akui Pernah Pegang Salinan Surat Wasiatnya

"Katanya, enggak cocok di situ. Jadi, saya meninggalkan dusun, balik lagi ke kota, Jakarta," kata Amelia

Artikel ini telah tayang di Sosok dengan judulLuka yang Ditorehkan PKI Terlalu Dalam, Putri Jenderal Achmad Yani Bahkan Harus Sembunyi di Desa Terpencil Selama 20 Tahun Hanya untuk Sembuhkan Traumanya(*)

Tag

Editor : Dewi Lusmawati

Sumber sosok