GridHot.ID - Saifuddin Umar (54) alias Abu Fida termasuk sebagai sosok penting dalam dunia terorisme.
Namanya sempat malang melintang di organisasi radikal berbahaya.
Ia pun menceritakan pengalamannya menjajaki dunia terorisme.
Organisasi teror yang pernah diikutinya, sebut saja Jemaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).
Namun pria asal Surabaya yang akrab dijuluki Abu Fida itu kini bertobat.
Bergabung di organisasi radikal, membuat nyaris semua sendi kehidupannya hancur.
Abu Fida pernah nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
"Saya mendaftar ke pondok pesantren itu tahun 1984," kata Abu Fida, dalam acara Obrolan Virtual Overview : Kesaksian Eks Napi Terorisme : Bagaimana Radikalisme Merenggut Hidupku, Selasa (8/9/2020).
Sejak di pondok pesantren, Abu Fida mengaku sudah menjadi pribadi yang haus akan ilmu keagamaan.
Tak terhitung banyaknya buku-buku keagamaan Islam yang ia lahap.
"Itu saya pahami secara otodidak. Saya baca di luar jam pelajaran. Saya sangat menikmatinya saat itu," tutur Abu Fida.
Pasca mengenyam pendidikan di pondok pesantren, Abu Fida muda lantas bertolak ke Suriah untuk mendalami ilmu agama Islam.
Ia melalang buana dari kampus ke kampus bahkan dari negara satu ke negara yang lain. Seorang diri.
"Setelah dari Suriah kemudian saya ke Yordania selama dua tahun. Lalu ke Pakistan, dan Arab Saudi," aku dia.
Abu Fida kemudian kembali ke Indonesia setelah menuntaskan pendidikannya di banyak negara Timur Tengah.
Sekembalinya ke Indonesia, Ia memilih bergabung ke kelompok JI yang ada di Surabaya.
Lalu, bagaimana awalnya ia bergabung di organisasi terlarang ini?
Tidak Ada Niatan
Tahun 2004 menjadi momen Abu Fida tersandung masalah hukum.
Saat itu, dia terlibat dalam penyembunyian gembong teroris, Dr Azahari dan Noordin M Top.
Penyembunyian kedua gembong teroris itu berawal dari ikatan pertemanan Abu Fida.
"Saya sebenarnya tidak ada niatan untuk menjadi teroris," kata Abu Fida.
"Ada teman yang meminta tolong kepada saya untuk menyembunyikan Dr Azahari dan Noordin M Top," kata dia.
"Saya ini orang yang suka membantu. Ingin membantu orang lain. Jadi saat itu sulit untuk menolak," tambahnya.
Abu Fida harus mempertanggungjawabkan tindakan penyembunyian kedua gembong teroris yang paling dicari saat itu.
Ia pun dicokok tim Densus 88 dan dijerat pasal berlapis dalam Undang-Undang Terorisme.
"Saya dijerat pasal 13 b dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2013 atas tindakan menyembunyikan informasi Dr Azahari dan Noordin M Top," tutur dia.
Dinginnya jeruji besi harus dirasakan Abu Fida untuk pertama kalinya.
Setelah menghirup udara bebas atau selang 4 tahun dari kasus penyembunyian, Abu Fida memilih bergabung dengan JAT.
"Itu atas kesadaran sendiri. Tidak ada iming-iming uang, sallary (gaji), atau apapun," akunya.
Abu Fida juga sempat kembali melalang buana ke Suriah sebelum akhirnya kembali ke Indonesia untuk berkiprah dalam jaringan ISIS.
Langkahnya itu terendus Densus 88.
Ia kembali dicokok pada tahun 2014, 10 tahun dari kasus pertamanya.
Kali ini lantaran dugaan makar dengan terlibat deklarasi ISIS di Solo.
"Saya masih ingat sekali tanggalnya. Hari Kamis pagi, tanggal 14 Agustus 2014," ujar Abu Fida.
"Kondisi saya saat itu seperti antara hidup dan mati. Tapi Allah masih memberikan kehidupan ke saya," imbuhnya.
Abu Fida tidak menyangka penangkapan memberikan kejutan kesedihan yang luar biasa kepada anggota keluarganya.
Anak keempatnya yang waktu itu masih kelas 3 SD pun terperanjat.
"Saya ditangkap setelah saya mengantar anak saya ke sekolah pada pukul 07.00 WIB," kata Abu Fida.
"Anak saya diberitahu wali kelasnya ketika itu, ia langsung syok. Kakak-kakaknya juga sama terdampak," papar dia.
"Kakak-kakaknya tahu dari teman-temannya yang membaca berita. Mereka sudah coba menjelaskan tapi memang itu yang terjadi," tambahnya.
Pergolakan batin tak bisa dihindari Abu Fida, sebelum akhirnya menemukan titik balik dan bertobat meninggalkan dunia terorisme.
Apakah Ini Islam?
Pertanyaan 'Apakah Ini Islam?' menjadi titik awal dirinya hijrah.
"Islam itu mestinya merangkul tapi ini memukul. Yang mestinya menyayangi tapi ini malah kebalikannya," tutur dia.
"Ketika kekerasan diamalkan tentu akan mencoret, menjelekkan umat Islam," tambahnya.
Abu Fida kini perlahan menata ulang kehidupannya bersama istri dan kelima anaknya.
"Kehidupan yang saya inginkan bersama keluarga itu bisa mensejahterakan anak-istri," ucapnya.
Ia kini memilih menyebarkan kebaikan dan menolak ajaran radikalisme.
"Pemahaman yang perlu kita idealkan adalah pemahaman yang ramah, bukan marah,"
"Pemahaman yang merangkul bukan memukul. Pemahaman dengan hati, bukan sakit hati," tandasnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunsolo.com dengan judulKisah Tobat Eks Pengikut ISIS dari Surabaya : Mulai Ragu Saat Ditanya, Apakah Ini Islam?(*)