Laporan Wartawan GridHot, Desy Kurniasari
GridHot.ID - Disahkannya UU Cipta Kerja berbuntut panjang.
Aksi unjuk rasa terjadi di sejumlah daerah sebagai bentuk penolakan UU Cipta Kerja.
Melansir Tribunnews.com, sejak disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja oleh DPR pada Senin (5/10/2020) lalu, sejumlah aksi penolakan terjadi di wilayah DKI Jakarta dan juga kota-kota besar lainnya di sejumlah daerah.
Kamis (8/10/2020), aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja berlangsung di ibu Kota Jakarta.
Bahkan, diberitakan Gridhot sebelumnya, Polda Metro Jaya melakukan rapid test terhadap 200 orang remaja yang ditangkap saat aksi unjuk rasa aksi menolak Omnibus Law Cipta Kerja di Jakarta pada Rabu (7/10/2020) kemarin.
Pemeriksaan rapid test berlangsung di Polres Jakarta Barat.
Dari 200 orang yang sempat ditangkap polisi, baru 90 orang yang diketahui telah menjalankan rapid test.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes pol Yusri Yunus menyampaikan ada 12 orang yang diklaim terindikasi reaktif Covid-19.
Mereka pun dibawa ke Polda Metro Jaya untuk melakukan test swab.
Dilansir dari Kompas.com, aksi demonstrasi di berbagai tempat itu berpotensi memicu terjadinya penyebaran Covid-19 secara masif.
"Apa pun itu, baik demo, penggalangan massa, itu sangat berpotensi memicu terjadinya penyebaran yang masif dari Covid-19," kata Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, kepada Kompas.com, Jumat (9/10/2020).
Terlebih, situasi pengendalian pandemi corona di Indonesia saat ini belum terkendali dengan baik. "Karena kapasitas testing dan tracingnya yang rendah," ujar dia.
Masih rendahnya testing dan tracing terhadap Covid-19, menurutnya berimplikasi terhadap keberhasilan pada intervensi seperti isolasi, karantina, dan lainnya.
Terlihat dalam 2-3 minggu
Dicky menjelaskan, saat demo berlangsung, seluruh mekanisme penularan virus terjadi, seperti terjadi kerumunan, tidak ada jarak sosial, droplet, hingga fomite. "Orang berdekatan, orang berteriak, kemudian juga saling menyentuh, ini banyak terjadi. Akhirnya disadari atau tidak (terjadi) penyebaran dari Covid-19," tutur Dicky.
Menurut dia, dampak lonjakan penyebaran virus corona dari aksi demontrasi tidak akan terlihat secara langsung dalam waktu dekat. "Akan terlihat dampaknya ya nanti, 2-3 minggu ke depan. Bukan dalam beberapa hari ini," kata Dicky.
Hal ini pun akan memperburuk situasi pengendalian pandemi virus corona di Indonesia. Secara terpisah, tenaga kesehatan juga mengkhawatirkan terjadinya lonjakan kasus infeksi masif yang akan terlihat dalam waktu 1-2 minggu mendatang.
"Dalam kondisi saat ini saja, para tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan sudah kelimpungan menangani jumlah pasien Covid-19 yang terus bertambah," ujar Ketua Tim Mitigasi PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia), M. Adib Khumaidi, dalam keterangannya.
Dicky menambahkan, gas air mata dan semprotan merica aparat akan membuat pendemo "menangis". Hal ini menyebabkan hidung dan mulut akan mengeluarkan lendir dan memperburuk penyebaran virus. Mengingat, virus corona dapat menyebar melalui droplet atau tetesan dari mulut atau hidung.
"Gas air mata dapat terkumpul pada masker, sehingga tidak tahan untuk dipakai," tuturnya.
Perhatian pembuat kebijakan Dicky menyampaikan, kejadian ini harus dijadikan pelajaran bagi pembuat kebijakan regulasi. Yakni sangat harus mempertimbangkan dan melakukan manajemen risiko dengan matang.
Manajemen risiko termasuk saat mengeluarkan produk kebijakan yang berpotensi menimbulkan reaksi massa yang berisiko memperburuk pandemi virus corona. "Karena situasi pandemi yang seperti ini jangan sampai keluar kebijakan yang menimbulkan pro kontra yang masif di masyarakat, yang akhirnya timbulan aksi-aksi demo seperti ini," tutur dia.
Ia menilai, penyebaran virus di situasi saat ini menjadi sangat sulit untuk bisa dikendalikan.
Kendati begitu, Dicky menegaskan aksi demo tidak dapat menjadi satu-satunya yang disalahkan. "Dampak ini akan bersinergi dengan yang lain ya, tidak bisa hanya ditumpukkan atau disalahkan pada aksi demo saja," ujarnya.
"Karena ini akan berkontribusi dengan kontributor lainnya seperti rangkaian pilkada, pelonggaran-pelonggaran yang terjadi, ketidakpatuhan (terhadap protokol kesehatan), kelemahan testing dan tracing. Jadi enggak bisa hanya menyalahkan aksi demo saja," lanjut dia.
Dicky menegaskan, mobilitas massa yang besar sangat dapat diprediksi mempercepat penyebaran virus. Dari sisi pemerintah, harus mengantisipasinya dengan menambah testing secara progresif. "Bila tidak, akan sangat bahaya," ujar Dicky.
10.000 kasus harian
Lebih lanjut, sangat diperlukan antisipasi dari sektor fasilitas kesehatan, mengingat potensi terjadinya lonjakan kasus dalam beberapa minggu mendatang. "Betul. Sangat penting (fasilitas kesehatan berantisipasi). Dan terutama aspek testing dan tracingnya," ujar Dicky.
Dicky mengungkapkan, potensi percepatan penyebaran saat ini dapat mencapai 2-3 kali lipat atau kasus harian dapat mencapai 10.000 kasus. "Karena adanya sinergi faktor pemburuk seperti rangkaian Pilkada, pelonggaran, dan demo. Artinya kasus harian 10.000 sudah tidak akan aneh," lanjutnya.
Ia menambahkan, saat ini pun seharusnya kasus harian telah mencapai 10.000 kasus, namun tidak terlihat lantaran testing dan tracing yang rendah. "Sekarang pun harusnya sudah 10.000, tapi karena testing dan tracing rendah jadi enggak keliatan. 2-3 minggu lagi melonjak," ujar Dicky. (*)