Find Us On Social Media :

Berstatus Keturunan Salah Satu Keluarga Paling Konglomerat di Dunia, Anak Rockefeller Ini Tiba-tiba Hilang di Papua, Belanda Sampai Sembunyikan Laporannya Karena Ketakutan

Michael Rockefeller

Gridhot.ID - Sosok Rockefeller memang sudah sangat terkenal di dunia.

Dikutip Gridhot dari Kontan, John D Rockefeller merupakan pebisnis yang berhasil menyandang status miliarder pertama di dunia dan menjadi salah satu konglomerat terkaya di dunia.

Ia memiliki perusahaan minyak yang bernama Standard Oil, yang menjual minyak di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Meski hidup di tengah kemewahan luar biasa, keluarga Rockefeller juga memiliki kisah yang sangat tragis.

Baca Juga: Dulu Bikin Geger Gara-gara Skandal 'Cicak VS Buaya' di KPK, Nasib Jenderal Bintang 3 Ini Kini Berubah, Intip Potret Sederhana Sang Mantan Petinggi Polri Usai Pilih Hidup Adem Ayem di Desa, Ini Profesi Barunya

 

Dikutip Gridhot dari Intisari, Michael Clark Rockefeller, merupakan anggota keluarga Rockefeller yang dikenal sebagai sosok yang 'gila berpetualang'.

Keluarga Rockefeller sendiri merupakan salah satu keluarga terkaya di Amerika Serikat.

Sosok yang 'gila berpetualang' ini lahir tahun 1938. Dia adalah anak bungsu gubernur New York dan Wakil Presiden Amerika Serikat Nelson Rockefeller, keluarga milioner di AS.

Kakek buyutnya adalah John D. Rockefeller - salah satu pria terkaya yang pernah ada.

Sebenarnya sang ayah berharap dia mengikuti jejaknya dengan membantu mengelola bisnis keluarga.

Baca Juga: Dulu Dihujat Dikira Bakal Jadi Orang Ketiga dalam Hubungan Andin dan Aldebaran, Kehadiran Sosok Artis Ini Kini Justru Paling Ditunggu-tunggu Fans Ikatan Cinta

 

Namun Michael merupakan orang dengan jiwa tenang dan artistik.

Setelah lulus dari Harvard tahun 1960, dia ingin melakukan sesuatu yang lebih mengasyikkan daripada duduk di ruang rapat.

Dia memutuskan untuk mencari 'seni-primitif' - sebuah istilah yang tidak lagi digunakan untuk seni non-Barat, khususnya yang berasal dari masyarakat adat.

Michael melakukan banyak perjalanan mulai dari Jepang hingga Venezuela selama berbulan-bulan, akhirnya dia memulai ekspedisi antropologis ke tempat yang tidak banyak dilihat orang.

Dia bicara dengan perwakilan dari Museum Etnologi Nasional Belanda dan melakukan perjalanan kepanduan dengan apa yang disebut Nugini Belanda.

Sebuah pulau besar di lepas pantai Australia (sekarang masuk Provinsi Papua, Indonesia) untuk mengumpulkan seni dari orang suku Asmat yang tinggal di sana.

Melansir All That's Interesting, Michael Rockefeller dan tim peneliti dokumenter pergi ke Nugini Belanda.

Baca Juga: Kolonel Priyanto Disebut Ogah Bawa Korban Kecelakaan Nagreg ke RS, Pengakuan Koptu Sholeh Bongkar Kronologi Keji Saat Buang Handi ke Sungai Hidup-hidup

 

Meski otoritas kolonial Belanda dan misionaris telah lama berada di sana, suku Asmat belum melihat orang kulit putih.

Kontak terbatas dengan dunia luar membuat suku Asmat percaya tanah di luar pulau mereka dihuni oleh arwah, sehingga ketika orang kulit putih datang dari seberang lautan mereka melihatnya sebagai semacam makhluk gaib.

Michael dan timnya akhirnya menjadi sesuatu yang menarik dan ingin diketahui oleh Otsjanep, tempat salah satu komunitas utama Asmat di pulau itu.

Tim Michael juga bukanlah sesuatu yang sepenuhnya disambut.

Suku Asmat memperbolehkan tim fotografi beraksi, tapi tidak mengizinkan peneliti kulit putih membeli artefak budaya.

Ia tidak terlalu terpengaruh dengan hal itu tapi lebih memikirkan kondisi 'biasa' terjadi.

Pada saat itu, perang antarsuku adalah hal biasa dan Michael mengetahui pejuang Asmat akan mengambil kepala musuh mereka dan memakan daging mereka.

Baca Juga: Rizky Billar Khawatirkan Bobot Bayinya yang Baru 2,2 Kilogram, Chat Dokter Ini Ungkap Kondisi Lesti Kejora dan Anak Pertamanya

 

Misi kepanduan selesai dan dia menulis rencananya untuk membuat studi antropologis rinci tentang Asmat dan memajang koleksi seni mereka di museum ayahnya.

Tahun 1961 Michael Rockefeller berangkat sekali lagi ke Papua Nugini ditemani Rene Wassing, antropolog pemerintah.

Ketika kapal mendekati Otsjanep pada 19 November 1961, tiba-tiba terjadi badai yang membalikkan kapal.

Wassing menempel di lambung kapal yang terbalik.

Disebutkan mereka berada 12 mil dari pantai dan Michael berkata pada Wassing, "Saya pikir saya bisa melakukannya," dan melompat ke air.

Dia tidak pernah terlihat lagi.

Keluarganya mengerahkan segala cara mencari Michael, mulai dengan kapal hingga helikopter, menjelajahi daerah itu.

Bahkan Nelson Rockefeller dan istrinya ikut terbang ke Papua mencari anak mereka, tapi tubuh Michael Rockefeller tak ditemukan.

Penyebab kematiannya secara resmi dinyatakan akibat tenggelam.

Baca Juga: Rizky Billar Khawatirkan Bobot Bayinya yang Baru 2,2 Kilogram, Chat Dokter Ini Ungkap Kondisi Lesti Kejora dan Anak Pertamanya

 

Michael Rockefeller dinyatakan mati secara hukum pada 1964.

Hilangnya anak konglomerat itu secara misterius menjadi sensasi dan rumor yang menyebar.

Beberapa mengatakan dia dimakan hiu saat berenang ke pulau, beberapa percaya dia dibunuh dan dimakan orang-orang suku Asmat.

Sementara yang lain berspekulasi dia tinggal di suatu tempat di hutan Papua, melarikan diri dari kurungan kekayaan.

Kasusnya dibuka kembali. Tahun 2014 reporter National Geographic Carl Hoffman mengungkap dalam bukunya Savage Harvest: A Tale of Cannibals, Colonialism and Michael Rockefeller’s Tragic Quest for Primitive Art, menghasilkan bukti bahwa Michael dibunuh suku Asmat.

Baca Juga: Dihujat Sana-sini Usai Bela Doddy Sudrajat, Sunan Kalijaga Kepergok Duduk Sekursi dengan Keluarga Faisal dan Ngaku Tak Bicara Masalah Hukum Sama Sekali, Obrolkan Apa?

 

Mereka mengetahuinya dari misionaris yang tinggal di sana selama bertahun-tahun mengarah pada kesimpulan tengkorak yang diklaim suku Asmat milik Michael.

Namun laporan itu terkubur dalam file rahasia dan tidak diselidiki lebih lanjut dan kabar ini tidak disampaikan oleh Belanda.

Kenapa? Karena tahun 1962 Belanda kehilangan setengah pulau itu ke Indonesia, mereka takut jika diyakini bahwa mereka tidak bisa mengendalikan penduduk asli maka akan segera digulingkan.

(*)