Gridhot.ID - Masih ingat dengan kasus Herry Wirawan?
Dikutip Grihdot dari Tribunnews, Herry Wirawan sempat membuat geger karena kelakuannya terhadap anak-anak di bawah umur.
Herry Wirawan sebelumnya menjadi sorotan tajam usai kepergok memperkosa 13 santriwati bahkan ada di antaranya yang sampai hamil.
Kini di awal bulan Ramadhan 2022, Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung mengabulkan banding dari jaksa penuntut umum (JPU) yang meminta vonis mati pemerkosa 13 santriwati di Bandung, Herry Wirawan.
"Menerima permintaan banding dari jaksa/penuntut umum. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati," ucap hakim PT Bandung yang diketuai oleh Herri Swantoro berdasarkan dokumen putusan yang diterima, Senin (4/4/2022).
Dikutip Gridhot dari Kompas.com, pembacaan vonis dibacakan secara terbuka hari Senin, 4 April 2022.
Dalam dokumen, hakim juga memperbaiki putusan sebelumnya yang menghukum Herry pidana seumur hidup menjadi hukuman mati.
"Menetapkan terdakwa tetap ditahan," tuturnya.
Dalam perkara ini, Herry tetap dijatuhi hukuman sesuai Pasal 21 KUHAP jis Pasal 27 KUHAP jis Pasal 153 ayat ( 3) KUHAP jis ayat (4) KUHAP jis Pasal 193 KUHAP jis Pasal 222 ayat (1) jis ayat (2) KUHAP jis Pasal 241 KUHAP jis Pasal 242 KUHAP, PP Nomor 27 Tahun 1983, Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 65 ayat (1) KUHP dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan.
Sebelumnya diberitakan, majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup terhadap terdakwa Herry Wirawan.
Menurut hakim, Herry terbukti memerkosa 13 santriwati yang merupakan anak didiknya.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara seumur hidup," ujar Hakim saat membacakan amar putusan.
Hakim berpendapat, terdakwa sebagai pendidik dan pengasuh pondok pesantren (ponpes) seharusnya melindungi dan membimbing anak-anak yang belajar, sehingga anak-anak yang mondok dapat tumbuh dan berkembang.
Namun sebaliknya, terdakwa malah memberi contoh tidak baik dan merusak masa depan anak-anak.
Menurut hakim, perkembangan anak menjadi terganggu.
Selain itu, perbuatan Herry merusak fungsi otak anak korban pemerkosaan.
Hakim menilai perbuatan Herry Wirawan telah terbukti bersalah sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.
Seperti diketahui, Herry memerkosa 13 santriwati di beberapa tempat, yakni di yayasan pesantren, hotel, dan apartemen.
Fakta persidangan pun menyebutkan, terdakwa memerkosa korban di gedung yayasan KS, pesantren TM, pesantren MH, basecamp, apartemen TS Bandung, hotel A, hotel PP, hotel BB, hotel N, dan hotel R.
Peristiwa itu berlangsung selama lima tahun, sejak tahun 2016 sampai 2021.
Pelaku adalah guru bidang keagamaan sekaligus pimpinan yayasan itu.
Para korban diketahui ada yang telah melahirkan dan ada yang tengah mengandung.
Menilik aturan dari pemerintah Indonesia, begini proses yang bakal dilalui Herry Wirawan hingga akhirnya nyawanya dicabut regu penembak.
Dalam UU No 2/PNPS/1964 Bab I Pasal 1 disebutkan, di lingkup peradilan umum atau peradilan militer pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan cara ditembak sampai mati.
Pada Pasal 10 disebutkan eksekutor yang ditunjuk adalah satu bintara, 12 orang tamtama, dan di bawah pimpinan seorang perwira. Semuanya berasal dari Brigade Mobil (Brimob).
Ada beberapa tata cara pelaksanaan hukuman mati sebelum terpidana dieksekusi:
1. Kepala Polisi Komisariat Daerah (Kapolda) akan menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati, setelah mendengar nasehat jaksa tinggi/jaksa yang bertanggungjawab untuk melaksanakan eksekusi.
2. Kepala Polisi Komisariat Daerah bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat yang diperlukan.
3. Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus ditunjuk oleh jaksa tinggi/jaksa.
4. Tiga kali dua puluh empat jam sebelum eksekusi dilakukan, jaksa tinggi/jaksa akan memberitahukan kepada terpidana tentang rencana hukuman mati.
5. Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya bisa disampaikan kepada jaksa tinggi/jaksa.
6. Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.
7. Pembela terpidana, atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri pelaksanaan pidana mati.
8. Kepala Polisi Daerah membentuk suatu regu penembak dari brigade mobile (Brimob) yang terdiri dari seorang bintara, 12 orang tamtama, di bawah pimpinan seorang perwira.
9. Terpidana dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
10. Jika diminta, terpidana dapat disertai seorang perawat rohani.
11.Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, komandan pengawal menutup mata terpidana dengan sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya.
12.Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut.
13.Jika dipandang perlu, jaksa tinggi/jaksa yang bertanggungjawab dapat memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat di sandaran yang khusus dibuat untuk itu.
14.Setelah terpidana siap ditembak, regu penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan oleh jaksa tinggi/jaksa.
15.Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat regu penembak tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.
16.Komandan regu penembak dengan menggunakan pedang memberikan isyarat, dan memerintahkan anggotanya membidik jantung terpidana.
17.Apabila setelah penembakan, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka komandan regu segera memerintahkan kepada bintara regu penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.
18.Penguburan diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali jika berdasarkan kepentingan umum jaksa tinggi/jaksa yang bertanggungjawab memutuskan lain.
(*)