Find Us On Social Media :

Ustaz Abdul Somad Tegaskan Hukum Wanita Bekerja di Luar Rumah, Singgung Sikap Nabi Muhammad SAW dan Masalah Gaji

Ilustrasi wanita bekerja

Gridhot.ID - Ustaz Abdul Somad membahas tentang permasalahan istri yang harus bekerja di luar rumah.

Ustaz Abdul Somad kemudian membahas tentang kisah Nabi Muhammad SAW terkait permasalahan istri ikut bekerja.

Berikut penjelasan Ustaz Abdul Somad mengenai topik ini.

Sering mendengarkan istilah dari kalimat Uang Suami Adalah Milik Istri, Uang Istri Bukan Milik Suami.

Kalimat itu memang sering di dengar oleh telinga kita, namun siapa sangka ternyata memiliki makna yang dalam.

Terkhusus bagi mereka yang sedang membina rumah tangga.

Tidak jarang dalam kehidupan rumah tangga seorang istri ikut bekerja mencari uang.

Hal itu dilakukan membantu perekomian keluarga.

Sejatinya seorang istri adalah mengurus rumah tangga baik itu suami maupun anak serta pekerjaan rumah lainnya.

Tetapi karena keadaan mereka terpaksa bekerja.

Bila sama-sama menghasilkan uang, namun, apakah bedanya uang istri dan uang suami?

Baca Juga: Lowongan Kerja Lulusan S1, BPJS Ketenagakerjaan Buka Kesempatan Emas di Posisi Ini, Simak Syarat dan Cara Mendaftarnya

Dikutip Gridhot dari Bangka POS, dalam ceramahnya, Ustaz Abdul Somad memberikan penjelasan sebagaimana dalam video di kanal YouTube Adam Wahyu yang diunggah pada 28 Juli 2020 lalu.

"Uang suami ada hak istri, namun uang istri tak ada hak suami," katanya dalam video tersebut.

Menurut Ustaz Abdul Somad bahwa, meski bersama-sama bekerja, namun kewajiban suami tidak akan berkurang.

"Kewajiban suami ada lima yakni, pakan, pakai, tempat tinggal, pendidikan dan perhatian," bebernya.

Jika seorang suami tidak memberikan lima kewajiban tersebut maka ia akan dituntut di hadapan Allah SWT.

"Hakikatnya perempuan berada di rumah tidak bekerja (mencari nafkah)," katanya.

UAS melanjutkan jangankan bekerja di luar, membawakan air minum tamu pun tidak.

"Namun, karena Islam adalah agama rahmatan Lil Al-Amin, maka Asma (saudari Kandungan Aisyah) memikul makanan unta. Dan nabi Muhammad menengok Asma dan tidak melarangnya," ujarnya.

Justru nabi menolong Asma membawa makan unta ke rumah.

Maka itulah dalil mengapa wanita diperbolehkan bekerja karena nabi tidak melarang Asma.

Meski begitu, perempuan yang boleh bekerja di luar rumah harus seizin suami.

Baca Juga: Baca Pledoi Pembelaan Tuntutan Pembunuhan Brigadir J, Kuat Ma'ruf: Yang Mulia, Saya Ini Bodoh!

Awal mula wanita boleh ikut bekerja membantu suami juga sudah dikisahkan lama dalam Islam.

Dikutip Gridhot dari NU Online, ditarik mundur lagi tentang sejarah bagaimana hak perempuan akhirnya dibebaskan berkat Islam.

Pada saat Islam datang, peradaban manusia terkait kedudukan perempuan terbilang masih rendah. Perempuan selamanya berada dalam “perbudakan.”

Selagi kecil, ia berada di bawah belenggu ayahnya. Setelah menikah, belenggu perempuan berpindah tangan kepada suaminya.

Sebagai entitas di bawah kuasa orang lain, perempuan saat itu tidak memiliki hak atas harta, bahkan atas hidupnya sendiri.

Tidak heran kalau Surat At-Takwir ayat 8 dan ayat 9 menyinggung anak perempuan yang dikubur hidup-hidup.

Al-Qur’an mempertanyakan dosa apa yang dilakukan anak perempuan sehingga layak dibunuh hidup-hidup.

Adapun Surat At-Takwir ayat 8 dan ayat 9 berbunyi sebagai berikut:

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَت بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَت

Artinya, “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.”

Oleh karena itu, Islam kemudian datang untuk membebaskan perempuan dari belenggu perbudakan yang menjadi sistem sosial saat itu.

Baca Juga: Asam Lambung Bisa Merusak Kerongkongan hingga Saluran Pernapasan, Ini 5 Minuman untuk Mengatasinya

Islam mengembalikan atau memulihkan kepribadian perempuan yang disia-siakan.

Islam memberikan hak kepada perempuan secara sempurna dalam relasinya dengan masyarakat dan keluarga.

Hal ini disebutkan oleh Imam M Abu Zahrah dalam Ushulul Fiqih-nya ketika membahas sisi kemukjizatan Al-Qur’an.

وأعطى الإسلام المرأة حقوقها كاملة وجعل ماليتها في الأسرة مفصولة عن مالية الزوج

Artinya, “Islam memberikan hak-hak perempuan secara sempurna. Islam menjadikan harta perempuan otonom secara kepemilikan dari harta suami dalam struktur keluarga,” (Imam M Abu Zahrah, Ushulul Fiqh, [Beirut, Darul Fikr Arabi: 2012 M/1433 H], halaman 85).

Dari semangat Al-Qur’an dalam pemulihan hak-hak perempuan ini, ulama fiqih kemudian memberikan garis yang jelas terkait hak kepemilikan bagi perempuan dalam hal ini sebagai istri.

Ulama mengatakan bahwa seorang perempuan berhak atas mahar dan nafkah; dan berhak diperlakukan secara manusiawi.

للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل

Artinya, “Istri memiliki hak atas materi berupa mahar dan nafkah; dan hak nonmateri berupa perlakuan yang baik, interaksi yang menyenangkan, dan keadilan.” (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 327).

Dengan demikian, perempuan memiliki kedaulatan atas kepemilikan harta.

Kedaulatan perempuan atas kepemilikan harta ini tertuang jelas dalam perintah Al-Qur'an pada Surat An-Nisa’ ayat 4 perihal kewajiban pemberian mahar oleh seorang suami kepada istrinya.

Baca Juga: Jangan Ngaku Gen Z Kalau Enggak Sering Melakukan Empat Kebiasaan Ini!

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Artinya, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.

Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Surat An-Nisa’ ayat 4).

Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa Islam memberikan garis yang jelas terkait hak laki-laki dan hak perempuan.

Perempuan dalam hal ini istri memiliki hak atas harta, yaitu mahar dan nafkah.

Sedangkan laki-laki dalam hal ini suami juga memiliki hak atas harta.

Lalu bagaimana dengan pernyataan “uang suami milik istri dan uang istri milik istri?”

Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah.

Kalimat tersebut mengandung dua pernyataan yang perlu diuji satu per satu.

Pertama, pernyataan, “uang suami (adalah) milik istri.”

Uang suami mungkin saja milik istri dan mungkin juga bukan milik istri.

Baca Juga: 5 Arti Kedutan di Lutut Kiri, Primbon Jawa Ramalkan Datangnya Rezeki yang Tak Disangka-sangka

Uang suami yang menjadi milik istri adalah hak nafkah yang seharusnya diterima oleh istri.

Tetapi uang suami mungkin juga bukan milik istri, yaitu uang suami di luar keperluan nafkah istri (dan anak).

Dengan demikian, kalau dikatakan bahwa (semua) uang suami adalah milik istri justru merampas hak suami atas kepemilikan uangnya.

Adapun pernyataan kedua, “uang istri milik istri,” adalah benar adanya sebagaimana dijamin oleh Islam terkait hak perempuan atas kepemilikan harta.

Penjelasan ini tampak sangat teknis dan domestik sekali.

Tetapi hak-hak suami dan istri ini perlu dibicarakan sehingga jelas kedudukan masing-masing pihak atas kepemilikannya.

Namun demikian pada praktiknya secara umum, suami dan istri mengelola (memberikan pertimbangan setidaknya) secara bersama uang yang mereka miliki dan satu sama lain dapat saling membantu dalam mengatasi keuangan satu sama lain seperti dinyatakan dalam Surat An-Nisa’ ayat 4.

(*)