Temuan ini dipublikasikan hari Rabu (22/8) dalam Jurnal Geologi.
Karya tulis tersebut menunjukkan bahwa letusan telah menghempaskan abu jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya ke atmosfer - hingga 100 kilometer di atas tanah.
"Penelitian saya, bagaimanapun, menunjukkan bahwa abu vulkanik dapat didorong ke atmosfer oleh kekuatan listrik," ungkap Dr Grenge.
Serangkaian percobaan menunjukkan bahwa kekuatan elektrostatik dapat mengangkat abu jauh lebih tinggi daripada dengan daya apung sendiri.
Dr Genge menciptakan sebuah model untuk menghitung seberapa jauh abu vulkanik yang bermuatan bisa naik, dan menemukan bahwa partikel yang lebih kecil dari 0,2 juta meter dalam diameter bisa mencapai ionosfer selama erupsi besar.
Gumpalan dan abu vulkanik keduanya dapat memiliki muatan listrik negatif dan dengan demikian mendorongnya tinggi di atmosfer. Efeknya sangat mirip seperti dua magnet didorong menjauh satu sama lain jika kutub mereka cocok," tambahnya.
Hasil eksperimen ini konsisten dengan catatan sejarah dari letusan lainnya.
Lantaran minimnya catatan cuaca di tahun 1815, jadi untuk menguji teorinya, Dr Genge memeriksa catatan cuaca setelah letusan 1883 gunung berapi Indonesia lainnya, yakni Gunung Krakatau.
Data menunjukkan suhu rata-rata yang lebih rendah dan mengurangi curah hujan segera setelah letusan dimulai, dan curah hujan global lebih rendah selama letusan daripada periode sebelum atau sesudahnya.
Baca Juga : Ikan ini Dihargai Hingga Miliaran Rupiah di Jepang, Padahal di Indonesia Hanya Ratusan Ribu!
Dia juga menemukan laporan gangguan ionosfer setelah letusan Gunung Pinatubo pada tahun 1991, Filipina, yang mungkin disebabkan oleh abu bermuatan di ionosfer dari gunung api.
Selain itu, tipe awan khusus, yakni awan noctilucent muncul lebih sering daripada biasanya setelah letusan Krakatau.