GridHot.ID – "Apa yang dia lakukan? Dia akan membunuh kita semua!" Dua kalimat itu merupakan kata terakhir yang diucapkan pilot Pan America, Victor Grubbs, sebelum terjadi tabrakan hebat di bandara.
Peristiwa itu dikenal sebagai Tragedi Bandara Tenerife yang terjadi 42 tahun lalu, 27 Maret 1977.
Dua jet Boeing 747, milik maskapai KLM dan Pan Am bertabrakan di landasan pacu Bandara Los Rodeos (sekarang Bandara Tenerife) di Pulau Canary, Spanyol.
Baca Juga : Usai Main di Sungai Berlumpur, Seekor Lintah Bersarang di Hidungnya
Dilansir dari History.com, Bandara Los Rodeos memang dikenal memiliki masalah kabut yang sering muncul secara dadakan.
Bandara ini juga dianggap sebagai bandara yang tak disukai banyak pilot.
Jet Boeing 747 milik KLM bersiap lepas landas, disusul Boeing 747 milik Pan Am yang mengikutinya dari belakang untuk lepas landas. Namun, kabut lebih cepat datang.
Baca Juga : Ngeri! 13 Kecelakaan Pesawat yang Ternyata Sengaja Dilakukan Oleh Pilot
Pilot Pan Am tidak dapat melihat dengan jelas sehingga pesawatnya tak bisa ditempatkan pada jalur yang tepat dan aman.
Sementara itu, pilot KLM yang asal Belanda tak memahami dengan baik kode yang dikeluarkan oleh pengendali penerbangan.
Baca Juga : Nyaris Meninggal Karena Tak BAB Selama Seminggu, Pria ini Berakhir dengan Operasi Potong Usus
Dia mulai lepas landas sebelum Pan Am bergerak ke posisi aman. Ini menyebabkan pesawat KLM menghantam sisi Pan Am dan kedua pesawat meledak menjadi bola api besar.
Peristiwa itu menewaskan sekitar 583 orang. Jumlah korban itu menjadikan Tragedi Bandara Tenerife sebagai kecelakaan pesawat paling mematikan dalam sejarah penerbangan.
Tak semestinya di Tenerife
Dikutip dari Kompas, pada 1977, dalam delapan tahun pelayanannya, Boeing 747 sudah menjadi armada terbesar, paling berpengaruh, dan mungkin merupakan pesawat jet komersial paling glamor yang pernah dibangun.
Beberapa maskapai menggunakan pesawat jenis ini karena fasilitasnya yang dikenal paling mewah pada masa itu, termasuk KLM dan Pan Am.
Baca Juga : Seluruh Keluarga Telah Diperiksa Namun Hanya Pramono Edhie yang Bisa Jadi Donor Ani Yudhoyono, ini Alasannya
Pesawat Pan Am dengan nomor registrasi N736PA terbilang populer saat itu.
Pada Januari 1970, pesawat yang sama ini menyelesaikan penerbangan komersial perdana dari Bandara John F Kennedy di New York ke Bandara Heathrow di London.
KLM tercatat sebagai maskapai penerbangan tertua yang terus beroperasi di dunia.
Maskapai didirikan pada 1919 dan sangat dikenal reputasinya karena keselamatan dan ketepatan waktunya.
Dilansir dari The Telegraph, kedua jet boeing 747 di Tenerife itu merupakan pesawat sewaan.
Pesawat Pan Am datang dari Los Angeles, setelah singgah di New York sedangkan KLM dari pangkalannya di Amsterdam. Dua pesawat itu tak seharusnya berada di Tenerife.
Para penumpang sebelumnya dijadwalkan turun di Las Palmas, yang terdekat dari Gran Canaria. Ini merupakan tujuan bagi penumpang wisata kapal pesiar.
Namun, karena ada gerakan separatis yang menanam bom dan meledak di bandara Las Palmas, penerbangan dialihkan ke Los Rodeos di Tenerife.
Baca Juga : Dua Pelaku Tega Perkosa Hingga Bunuh Calon Pendeta di OKI, Diduga Urusan Asmara
Berbagai kendala
Los Rodeos merupakan bandara yang sering mendapatkan peralihan penerbangan.
Saat dua pesawat itu dialihkan ke bandara itu, keduanya ditempatkan di sebelah tenggara apron.
Beberapa jam kemudian, Las Palmas mulai menerima pesawat untuk mendarat sekitar pukul 16.00. Pan Am dengan cepat mempersiapkan diri untuk lepas landas.
Namun, kondisi tertentu menyebabkan pesawat KLM bersiap terlebih dulu.
Cuaca saat itu sebenarnya cerah, namun pesawat KLM sempat meminta bahan bakar tambahan pada menit terakhir.
Saat penambahan bahan bakar dilakukan, kabut datang dengan cepat menyelimuti bandara.
Berdasarkan pantauan dari menara kontrol atau ATC, kedua pesawat ini berada pada titik berangkat yang berdekatan.
Kapten Van Zanten membawa pesawat KLM dan mengarahkannya pada titik akhir, dia bertahan pada lokasi yang diizinkan lepas landas.
Sementara itu, Pan Am sempat berbelok dan salah jalur.
Baca Juga : Hidup Membujang dengan 9 Boneka Manusia, Profesor ini Justru Berakhir di Kantor Polisi
Semestinya, pesawat Pan Am berada di belakang KLM. Kabut menganggu pandangan mereka. Komunikasi kepada menara ATC terus dilakukan.
Kondisi ini membuat Van Zanten marah dan kesal, ia ingin segera pergi dari tempat tersebut.
"Ayo pergi," kata Van Zanten kepada teman pilotnya. Mereka mulai menarik gas pada pesawat KLM untuk memulai pemberangkatan.
Pada saat yang sama, menara mengirimkan pesan ke KLM. "Oke," kata controller.
"Bersiap untuk lepas landas. Aku akan menghubungimu." Tak ada jawaban dan Van Zanten dan semua ini dianggap sebagai kesalahan karena tak menjawab aba-aba menara kontrol.
Pan Aam yang mencoba berbelok ke kiri tak kesampaian. Akibatnya, dengan cepat pesawat KLM menaraknya.
Mereka yang selamat dalam kecelakaan ini dalah mereka yang ada di bagian depan atau hidung Pan Am 747, jumlahnya 61 orang.
Baca Juga : Waspada! 4 Perubahan Mengerikan pada Tubuh ini Akan Terjadi Jika Kamu Sering Main HP Sebelum Tidur
Penyelidikan
Penyelidikan oleh pihak berwenang Spanyol menyimpulkan bahwa penyebab utama kecelakaan itu adalah keputusan kapten KLM yang keliru dalam menafsirkan izin lepas landas dari menara kontrol lalu lintas udara (ATC).
Akhirnya, KLM mengakui bahwa kru mereka bertanggung jawab atas kecelakaan itu.
KLM setuju untuk memberikan kompensasi finansial kepada kerabat semua korban.
Bencana ini memiliki pengaruh yang besar terhadap industri penerbangan, terutama menyoroti pentingnya menggunakan standardisasi dalam komunikasi radio.
Prosedural kokpit juga menjadi perhatian, karena sebagai pelatihan dasar pilot maskapai penerbangan.
Salah seorang saksi mata kecelakaan naas tersbeut, Bob Bragg bercerita bagaimana ia berada di lokasi kejadian sesaat setelah kecelakaan.
Hal ini seperti dikutip GridHot.ID dari The Telegraph.
Bob Bragg yang telah meninggal pada Februari 2017 lalu itu sempat menceritakan pengalamannya menyaksikan kecelakaan maha dahsyat di sejarah penerbangan dunia itu.
Mengetahui telah terjadi tabrakan antar kedua pesawat, Bragg yang saat itu jadi petugas maskapai Pan Am, secara naluriah meraih tuas 'Fire handles' yang merupakan seperangkat tuas yang terpasang di atas kepala di bagian kokpit.
Tuas tersebut berfungsi untuk memotong pasokan bahan bakar, udara, listrik dan hidrolik yang berjalan ke dan dari mesin.
Dengan menggunakan lengannya, Bragg meraba-raba tak berdaya.
Ketika ia melihat ke atas, Bragg baru menyadari bagian atap pesawat sudah tak ada.
Dia menyadari bahwa seluruh geladak atas telah terpotong pada satu titik di belakang kursinya.
Dia bisa melihat jauh ke belakang ke ekor pesawat, sejauh 200 kaki di belakangnya.
Badan pesawat hancur dan terbakar.
Dia dan Kapten Grubbs sendirian di kursi mereka, di tempat bertengger kecil yang terbuka 35 kaki di atas tanah.
Semua yang ada di sekitar mereka terangkat seperti topi.(*)