Gridhot.ID - Tepat pada hari ini 49 tahun yang lalu, Proklamator Indonesia, Presiden pertama negeri ini Ir.Soekarno mangkat.
Pernah dijuluki Singa Podium karena pidatonya yang berapi-api dan ditakuti oleh bangsa barat, namun di masa tuanya Soekarno bagai orang terlunta-lunta.
Usai kekuasannya tumbang setelah adanya G30S/PKI, Soekarno dijadikan 'musuh' oleh rezim Orde Baru.
Bahkan ketika menjelang akhir hayatnya, beliau masih dianggap berbahaya bagi rezim yang berkuasa.
Baca Juga: Sekda Kota Tangerang Sebut PNS Penghina Babu Alami Penurunan Berat Badan Usai Dihujat Netizen
Mengutip Intisari yang menyadur dari buku "Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno" terbitan Penerbit Buku Kompas 2014 dan ditulis oleh Asvi Warman Adam, Bonnie Triyana, Hendri F. Isnaeni, M.F. Mukti.
Kisah ini bermula ketika Soekarno di penghujung tanduk kekuasaannya pada suatu pagi meminta sarapan seperti biasanya yakni roti bakar di Istana Negara.
Pelayan Istana mengatakan tak ada roti untuknya.
"Tidak ada roti." Soekarno menyahut, "Kalau tidak ada roti, saya minta pisang."
"Itu pun tidak ada," timpal pelayan Istana lagi.
Karena merasa sangat lapar, Soekarno lantas menawar lagi dengan sarapan nasi sama kecap saja.
"Nasi dengan kecap saja saya mau," kata Soekarno.
Lagi-lagi pelayan menjawab, "Nasinya tidak ada."
Soekarno yang mendapati jawaban seperti itu lantas pergi ke Istana Bogor untuk mendapatkan sarapan disana.
Baca Juga: Dul Jaelani Ingin Punya Adik, Al Ghazali: Bunda Bilangnya Enggak Mau Hamil
Dalam buku tersebut juga dijelaskan jika Soekarno tidak mau melawan kesewenang-wenangan yang menimpanya.
Menurut Maulwi Saelan yang merupakan mantan kepala protokol pengamanan presiden Soekarno menyebut jika Sang Putra Fajar itu rela hancur lebur asalkan Indonesia tetap utuh.
"Biarlah aku yang hancur asal bangsaku tetap bersatu," kata Bung Karno.
Di waktu lain Saelan memberikan kesaksiannya saat ia menjemput dan mengantar Mayjen Soeharto bertemu dengan Soekarno di Istana secara empat mata.
Usai pertemuan itu Bung Karno berbicara kepadanya.
”Saelan, biarlah nanti sejarah yang mencatat, Soekarno apa Soeharto yang benar.”
Maulwi Saelan sendiri tidak pernah paham maksud sebenarnya kalimat itu.
Seiring beralihnya kekuasaan, Saelan baru paham, ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara-penjara di seluruh tanah air karena dianggap antek Soekarno.
Dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo ke Penjara Salemba, pindah ke Lembaga Pemasyarakatan Nirbaya di Jakarta Timur.
Sampai suatu siang di tahun 1972, alias lima tahun setelah ditangkap, dia diperintah untuk keluar dari sel.
Ternyata itu hari pembebasannya. Tanpa pengadilan, tanpa sidang, namun dia harus mencari surat keterangan dari Polisi Militer agar tidak dicap PKI.
"Sudah, begitu saja," kenangnya. (*)