Lantas aparat menekan pemerintah lokal untuk menyerahkan sejumlah nama dan dimasukkan "daftar pengawasan narkoba" tanpa dilakukan pemeriksaan terhadap barang bukti.
Yang paling terkenal adalah kasus Jovan Magtanong seorang ayah berusia 30 tahun
Direktur Amnesty Regional Asia Timur Nicholas Bequelin mengatakan Duterte sedang melakukan usaha pembunuhan besar-besaran di negaranya.
"Ketakutan ini telah menjalar ke masyarakat. Sudah saatnya bagi PBB, terutama Dewan HAM, untuk bertindak bijak dengan mengusut Presiden Duterte dan pemerintahannya," ujar Bequelin.
Amnesty menyoroti tindakan aparat polisi Filipina di Provinsi Bulacan, Luzon dimana tempat itu dilabeli sebagai 'Lokasi pembantaian paling berdarah' atas ikrar Duterte memerangi narkoba.
Terhitung selama 3 tahun operasi ini dilakukan sudah 490 korban tewas di Luzon.
Meski demikian Duterte bergeming akan tetap melakukan kegiatan berdarah ini.
Bahkan ia pernah sesumbar para pegiat hanya pedulikan HAM sedangkan ia mementingkan nyawa rakyat Filipina yang tak ingin negaranya hancur gegara narkoba.
"Izinkan saya untuk mengatakannya secara lugas. Perang melawan narkoba belum selesai ... perang melawan obat-obatan terlarang tidak akan dikurangi skalanya. Bahkan, ini akan terus dilanjutkan, ditingkatkan," kata Presiden Duterte pada 2018 silam seperti dikutip dari BBC.
"Jika Anda semua mengira saya bisa dibujuk untuk tak lagi melanjutkan perang melawan narkoba, karena aksi demonstrasi Anda, karena aksi protes Anda -yang menurut saya salah arah- maka itu keliru."