Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade
Gridhot.ID - Belakangan ini publik Twitter dihebohkan dengan adanya gerakan memblokir akun Twitter milik Atta Halilintar.
Fenomena ini ramai dan sempat menjadi trending topik di Twitter usai YouTuber muda dengan jargon "Ahsiaaap" ini mencoba kembali menyapa warga Twitter usai lama vakum.
Pada Rabu (31/7/2019) melansir dari Twitter, #Atta muncul dalam trending topik Twitter wilayah Indonesia.
Ketika trending tersebut diklik muncul sejumlah pengguna Twitter memblokir akun Atta.
Padahal, ini bukan pertama kalinya Atta menggunakan platform twitter.
Diketahui, Atta Halilintar sempat vakum dari akun Twitternya @AttaHalilintar dan memilih lebih fokus di channel YouTube miliknya.
Diketahui, Atta Halilintar sempat vakum dari akun Twitternya @AttaHalilintar dan memilih lebih fokus di channel YouTube miliknya.
Selama ini Atta diketahui sangat aktif membuat konten di channel Youtubenya.
Tak hanya itu Atta juga tentu kerap kali mengunggah kesehariannya di akun Instagramnya.
Namun sayangnya kehadiran Atta di Twitter tak begitu disambut baik.
Sejumlah pengguna Twitter justru memblokir Youtuber dengan 18 juta subscribers ini.
Menanggapi fenomena ini, seorang psikolog asal Solo Hening Widyastuti mengungkapkan bahwa fenomena influencer bisa ditinjau dari sisi psikologis dan non-psikologis.
Melansir dari Kompas.com (31/7/2019), menurutnya, konten yang dibuat oleh para influencer dan dilihat oleh masyarakat luas merupakan kepuasan tersendiri.
"Dari sisi psikologis, situasi persaingan yang sangat ketat di dunia seleb memaksa mereka untuk berpikir keras hingga menghasilkan ide kreatif untuk tetap eksis di berbagai media sosial," ujar Hening.
Hening juga mengatakan bahwa situasi berkompetisi dengan cepat dan mangeksplorasi potensi diri sebetulnya memicu tingkat stres lebih tinggi.
"Dari sisi non-psikologis, yakni dengan meranah ke berbagai platform media sosial lainnya, dengan pendapatan yang diharapkan lebih besar masuk ke pundi-pundi keuangan mereka," ujar Hening.
Dengan hadirnya influencer dalam beberapa media sosial, disinyalir mereka bisa tetap eksis, puas, terkenal, dan mendapatkan kelimpahan finansial.
Sementara, untuk influencer yang memilih secara khusus di ranah media sosial tertentu saja, Hening menyebut, kemungkinan karena mereka ingin memiliki ciri khas dan branding yang berbeda dari yang lain.
Tujuannya adalah agar mudah diingat masyarakat.
Sementara itu, meanggapi fenomena yang dialami Atta Halilintar di Twitter, Hening mengatakan Atta sebenarnya lebih nyaman di kanal Youtube.
Sebab disana ia biasa memuat konten hiburan dan berpenghasilan lebih banyak di kanal tersebut.
Meski begitu, kemuculan #atta menunjukkan bahwa YouTuber ini ingin kembali merambah ke Twitter.
Sayangnya, sejumlah pengguna twitter justru ramai-ramai memblokir akun milik Atta.
Fenomena ini juga ditelaah oleh Hening dari kacamata psikologi.
"Saya lihat ada seperti komunitas yang solid, senasib, sepenanggunggan kekuatan massa pada pengguna Twitter. Mereka menganggap Atta tidak konsisten, tidak loyal, dan tidak setia, karena beralih dari Twitter ke YouTube," ujar Hening.
"Pengguna Twitter menganggap Atta hanya ingin meraup finansial, seperti halnya pada YouTube," lanjut dia.
Lantas, muncul kekuatan massa dari rasa kesatuan psikologis untuk menolak Atta yang mereka anggap tidak setia dengan Twitter.
Menurut Hening, jika kekuatan massa sudah muncul, maka tidak sulit untuk memblokir Atta dari kehidupan dunia maya mereka.(*)