Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade
Gridhot.ID - Kabar duka menyelimuti keluarga besar Nahdatul Ulama (NU) dan juga masyarakat Indonesia.
Dikabarkan seorang tokoh ulama kharismatik Kiai Haji Maimoen Zubair atau akrab disapa Mbah Maimoen dikabarkan meninggal dunia saat melakukan rangkaian ibadah haji, Selasa (6/8/2019).
Kiai kelahiran Rembang 28 Oktober 1928 tersebut, meninggal di usia 90 tahun.
Dilansir GridHot.ID dari Antara News, keluarga besar organisasi Islam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berduka atas wafatnya KH Maimun Zubair di Mekah.
Mbah Moen dikenal sebagai sosok ulama besar tempat bertanya dan pemberi nasehat, layaknya kitab hidup yang berjalan.
"Dalam setiap kesempatan, kami mau melakukan apa saja pasti bersilaturahmi ke Mbah Moen, minta nasehat dan arahannya. Beliau seperti kitab hidup yang berjalan," kata Ketua PBNU Marsyudi Suhud kepada Antara saat dihubungi di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Marsyudi mengatakan Mbah Moen selalu menjadi rujukan bagi PBNU maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait persoalan apa saja yang menyangkut urusan berbangsa dan bernegara.
"Kyai-kyai, ulama-ulama di Indonesia mau NU, MUI, itu rujukannya beliau (Mbah Moen). Ada urusan apa saja, itu rujukan yang ditanya terkahir kepada beliau," kata Marsyudi.
Marsyudi mengatakan Mbah Moen semasa hidupnya adalah sosok yang jembar atau lapang dada. Jembar perasaannya, jembar pemikirannya.
Ketika ada persoalan yang dihadapi para ulama dan para pengurus PBNU, Mbah Moen akan langsung memberikan solusi dan jalan keluar disertai contoh-contohnya.
Hal ini tak terlepas dari masa muda Mbah Moen yang lekat dengan pelajaran agama yang mendalam dari orang tuanya yaitu Kiai Zubair.
Kiai Zubair merupakan Kiai asal Rembang yang memiliki kedalaman ilmu mengenai agama.
Pada waktu muda, K.H Maimoen Zubair sempat belajar ke beberapa guru di Indonesia bahkan hingga tanah suci Mekkah.
Pada Masa Mudanya, Mbah Moen sempat belajar pada beberapa guru ngaji di Pesantren Lirboyo, Kediri.
Melansir dari situs online NU, Mbah Moen belajar mengaji dibawah bimbingan Kiai Abdul Karim, Kiai Mahrus Ali dan Kiai Marzuki.
Kemudian pada umur 21, Mimun Zubair meneruskan belajarnya di Mekkah dengan didampingi kakeknya, Kiai Ahmad bin Syuaib.
Di tanah Arab, beberapa guru menjadi tempat untuk memperdalam ilmu Maemoen muda, diantaranya Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly.
Mbah Moen juga meluangkan wakstunya untuk mengaji ke beberapa ulama di Jawa.
Beberapa ulama tersebut diantaranya adalah Kiai Baidhowi, Kiai Ma'shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban).
Usai mendalami ilmu agama di tanah Arab, pada tahun 1965, Mbah Moen kembali ke Indonesia dan mengabdikan dirinya mengajar di Sarang, Rembang.
Di tanah kelahirannya itulah Mbah Moen mulai menulis beberapa kitab yang menjadi rujukan para santri, satu diantaranya kitab berjudul Al-Ulama Al-Mujaddidun.
Ia pun mulai di tarik ke dunia politik mulai dari menjadi anggota DPRD Rembang selama 7 tahun.
Setelah 7 tahun menjabat sebagai anggota DPRD Rembang, Mbah Moen diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jawa Tengah.
Kiai Haji Maemoen Zubai merupakan seorang alim, fiqih sekaligus dikenal sebagai sosok penggerak.
Baca Juga: Pakai Spidol, Karcis Parkir Mall Botani Bogor Terpaksa Ditulis Manual Gara-gara Listrik Mati
Berkat kharismanya, Kiai Maimun Zubair diangkat sebagai Ketua Dewan Syuro Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Ia kerap menjadi rujukan para ulama dan kiai haji apabila bingung soal situasi-situasi panas seperti perpolitikan seperti yang dikatakan ketua PBNU Marsyudi.
"Selalu, kalau ada situasi panas, Mbah Moen jadi pintu terakhir untuk bertanya. Dan beliau aman mencarikan solusi dan contoh-contoh seperti yang dilakukan Rasulullah," kata Marsyudi.(*)