Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade
Gridhot.ID - Kerusuhan di Papua yang disebabkan karena adanya isu rasial yang tersebar belakangan lalu masih memanas hingga saat ini.
Pemerintah masih mencoba melakukan peredaman situasi yang memanas di Papua.
Selain itu, Polri juga sedang memeriksa sumber masalah yang memicu kerusuhan ini terjadi.
Melansir dari Antaranews.com Selasa (3/9/2019), Kepolisian Daerah Jawa Timur telah menetapkan kasus kerusuhan di Papua dipicu dari penyebaran berita hoax melalui media sosial.
Berdasarkan informasi yang didapatkan, kepolisian pun mencekal tujuh orang yang terkait dengan dugaan kasus ujaran rasialisme terhadap mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua (AMP) Jalan Kalasan, Surabaya.
"Ada tujuh orang yang kami cekal, termasuk seorang tersangka. Pencekalan ini bertujuan untuk kepentingan penyidikan kasus rasialisme tersebut," kata Kapolda Jatim, Irjen Pol Luki Hermawan.
Satu dari tujuh orang tersebut adalah Tri Susanti alias Mak Susi, koordinator lapangan aksi di Asrama Mahasiswa Papua yang baru ditetapkan sebagai tersangka.
Ia diduga telah menyebarkan informasi hoax, diskriminasi dan profokasi sehingga terjadi pengerahan massa.
Luki juga mengatakan, ada sejumlah bukti yang dijadikan dasar polisi untuk menetapkan tersangka.
Antara lain rekam jejak digital berupa konten video hingga berbagai narasi yang tersebar di media sosial.
Usai penetapan tersangka pada Tri Susanti, polisi juga menetapkan status tersangka pada Samsul Arifin (SA) yang juga terlibat dalam aksi ujaran rasis di AMP Surabaya.
SA ditetapkan sebagai tersangka usai bukti ujaran rasisnya pada mahasiswa Papua di AMP diperoleh dari keterangan saksi-saksi serta hasil uji laboratorium forensik.
"Dari video yang beredar. SA salah satu yang mengungkapkan kata-kata kurang sopan, kata-kata binatang, kata-kata rasis. Diperoleh dari saksi dan dari hasil labfor," tambah Luki.
Penetapan SA sebagai tersangka juga dibenarkan oleh Wakapolda Jatim Bridjen Pol Toni Harmanto.
"SA dari unsur masyarakat. Itu rasisme dengan Undang-Undang nomor 40 tahun 2008 tentang diskriminasi. SA merupakan satu dari enam orang yang dicekal," kata Toni.
Dua tersangka itu pun resmi ditahan di Mapolda Jatim.
"Penahanan mulai hari ini sampai 20 hari ke depan," ujar Toni.
ia mengatakan ditahannya dua tersangka itu karena dikhawatirkan akan mengulangi tindakannya lagi dan menghilangkan barang bukti.
"Alasannya pertama mengulangi tindak pidana. Kedua kekhawatiran untuk menghilangkan barang bukti, dan ketiga berkaitan dengan menghambat proses penyidikan," tambahnya.
Namun, Toni masih enggan membeberkan nama saksi-saksi yang diperiksa dibalik tertangkapnya dua tersangka tersebut.
"Saksi-saksi yang diperiksa nanti bisa dipertegas oleh penyidik. Yang jelas yang sudah dikonfirmasi kedua tersangka ini juga berkaitan dengan saksi-saksi yang kami mintai keterangan sebelumnya," tutupnya.
Mereka berdua dijerat pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 4 UU 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Rasis dan Etnis dan/atau Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 14 ayat 1 dan/atau ayat 2 dan/atau Pasal 15 KUHP.
Sebelumya, melansir dari Surya.co.id, Polsri telah menemukan tiga akun media sosial yang diduga sebagai penyebar hoax pemicu kerusuhan di Papua.
Tiga akun medsos yang diduga memicu kerusuhan di Papua itu telah diidentifikasi oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.
Dilansir dari Kompas.com dalam artikel 'Polisi Identifikasi 3 Akun Diduga Pembuat Hoaks soal Papua dan Puluhan Buzzer', tiga akun medsos tersebut diduga sebagai pembuat atau kreator konten negatif terkait Papua.
Hal itu disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo saat ditemui di Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu, Jakarta, Sabtu (31/8/2019).
Tak hanya dari dalam negeri, menurut Dedi salah satu akun medsos tersebut bahkan dari luar negeri
"Kita masih mendalami 3 akun yang diduga sebagai kreator, yang menyebarkan konten-konten hoaks, ujaran kebencian, maupun agitatif. Dari 3 akun tersebut kan saya sampaikan juga, salah satu akunnya ada di luar negeri," kata Dedi.
Kemudian, para pembuat konten diduga memiliki penyebar atau kerap disebut buzzer.
Hingga saat ini, aparat mendeteksi 3 akun buzzer layer pertama.
Dedi mengatakan, penanganan satu akun dilimpahkan kepada Polda Gorontalo, sedangkan yang lainnya ditangani Direktorat Tindak Pidana Siber
Bareskrim Polri. Terakhir, polisi mengidentifikasi 34 akun buzzer layer kedua, yang terus-menerus menyebarkan konten hoax terkait Papua.
Seluruh akun tersebut diduga masih terkait dengan pembuat maupun buzzer di layer pertama.
"Dia punya 34 juga jejaringnya, 34 itu sebagai buzzer layer kedua, itu yang menyemburkan terus berita bohong, ujaran-ujaran kebencian, kemudian sifatnya provokatif," tutur Dedi.
Menurut keterangan polisi, konten provokatif tersebut turut diduga memicu massa hingga bertindak provokatif, termasuk saat aksi di Jayapura, Papua.
"Itu salah satunya provokasi di media sosial, kalau misalnya media sosial itu tidak dilakukan pembatasan bisa jadi lebih parah lagi," ungkapnya.(*)