Laporan Wartawan Gridhot.ID, Candra Mega
Gridhot.ID-Ketua Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Benny Wenda disebut sebagai tokoh di balik kerusuhan di Papua.
"Ya jelas toh. Jelas Benny Wenda itu. Dia mobilisasi diplomatik, mobilisasi informasi yang missed, yang enggak benar," ujar Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko.
"Itu yang dia lakukan di Australia, di Inggris," lanjutnya di kantornya, Gedung Bina Graha, Jakarta, Senin (2/9/2019) seperti dikutip dari Tribunnews.com.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga menyebut kerusuhan di Papua ditunggangi oleh pihak yang ingin mencari perhatian di Sidang PBB.
Namun, Benny yang kini bermukim di Oxford Inggris justru tidak diijinkan masuk ke ruang sidang umum PBB di New York, Amerika Serikat.
Benny yang diduga menjadi dalang kerusuhan di Papua tak di ijinkan masuk ke ruang sidang karena PBB memiliki peraturan baru.
"Kini PBB punya aturan baru, hanya warga negara resmi dari negara peserta yang bisa masuk dan hadir dalam Sidang Umum PBB," kata Delegasi RI asal Papua, Nick Messet, melalui pesan WA, Jumat 27/9/2019) malam.
Benny sebelumnya mencoba masuk ke ruang sidang melalui delegasi Vanuatu.
"Benny Wenda cs mau masuk ruang sidang PBB dengan ikut delegasi Vanuatu tapi tidak diijinkan, karena peraturan PBB kali ini cukup keras," ungkap Messet.
Usai gagal ikut sidang PBB, Benny berharap dapat bertemu Presiden Joko Widodo untuk berdiskusi tentang persoalan di Tanah Papua.
"Saya berharap dia (Jokowi) berkenan untuk duduk bersama saya dan mendiskusikan masa depan Papua Barat," kata Benny melalui keterangan tertulis, Selasa (8/10/2019), seperti dikutip Gridhot.ID dari Kompas.
Seiring dengan harapannya bertemu Presiden Jokowi, Benny sekaligus mengajukan sejumlah syarat.
Pertama, referendum Papua harus masuk di dalam pertemuan itu.
Kedua, Benny meminta pertemuan itu difasilitasi oleh pihak ketiga, misalnya PBB atau negara ketiga yang disepakati bersama.
Ketiga, Benny meminta Pemerintah Indonesia mengizinkan Komisaris Tinggi HAM PBB (OHCHR) berkunjung ke Papua.
Keempat, Pemerintah Indonesia harus segera menarik TNI-Polri dari Papua.
"Seluruh tambahan 16.000 personel TNI-Polri yang diturunkan sejak Agustus 2019, segera ditarik," ujar Benny.
Kelima, kepolisian harus melepaskan seluruh tahanan politik.
Mereka yaitu Wakil Ketua II ULMWP Buchtar Tabuni, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Bazoka Logo, Steven Itlay, Surya Anta dan seluruh mahasiswa yang diamankan sejak situasi memanas di Papua.
Keenam, Pemerintah Indonesia didorong mencabut pembatasan akses bagi media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) ke Papua Barat.
Sementara, Mabes Polri merespons salah satu permintaan Benny untuk menarik pasukan TNI-Polri dari Papua.
"Dia siapa? Yang penting untuk melindungi negara kita ini, ya kita sendiri, bukan orang lain."
"Yang bertanggung jawab terhadap NKRI ini adalah kita," ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Bareskrim Polri Kombes Asep Adi Saputra di Bareskrim Polri, Rabu (9/10/2019).
Oleh karena itu, kata Asep, apabila NKRI ini terancam, aparat keamanan baik itu kepolisian maupun TNI harus dengan cepat mengamankannya.
Termasuk dengan situasi dan kondisi yang terjadi di Papua dan Papua Barat beberapa waktu lalu.
"Jadi kalau ada yang mengancam NKRI ini, maka kita yang harus cepat mengamankan," kata dia.
(*)