Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Berburu Hingga Menyiksa Harimau, Inilah Sederet Kelakuan 'Sadis' Raja-raja Mataram Disela-sela Meminta Berkah Kepada Penguasa Laut Selatan

None - Sabtu, 21 Desember 2019 | 11:13
Pangeran Adipati Ario Mangkoe Negoro IV

Pangeran Adipati Ario Mangkoe Negoro IV

GridHot.ID– Saat beradajalan raya Semarang-Solo, akan terlihat sebuah Kesatrian RPKAD (sekarang Kopassus) yang dikelilingi lapangan amat luas.

Tempat tersebut dikenal dengan nama "Kandang Menjangan" yang dahulunya merupakan semacam hutan suaka yang dikelilingi pagar dari balok-balok kayu jati milik Kasunanan Surakarta.

Di dalam hutan yang merupakan "kandang" amat luas itu, dilepaskan berbagai macam hewan buruan yang ditangkap dari hutan atas perintah Sunan.

Hewan itu dibiarkan bebas berkeliaran dan berkembang biak. Pada waktu-waktu tertentu Sunan menyelenggarakan acara berburu di tempat tersebut sebagai salah satu rekreasi kaum bangsawan.

Tempat semacam ini dalam bahasa Jawa disebut "Krapyak".

Baca Juga: Mau Dijadikan Istri oleh Duda Anak 2, Penyanyi Ini Ungkap Alasannya Jatuh Cinta: Karena Dia Antik!

Dalam sejarah, dikenal tokoh Sunan Anyokrowati yang memerintah Mataram tahun 1601-1613 menggantikan Panembahan Senopati pendiri Mataram dan ayah Sultan Agung.

Sunan Anyokrowati dikenal juga dengan nama Sunan Sedo Krapyak, yang artinya "Raja yang meninggal di Krapyak".

Menurut cerita, raja tersebut sedang berburu banteng di dalam Krapyak. Ia menanti hewan buruannya di atas sebuah bangunan tinggi yang khusus dibuat untuk tujuan tersebut.

Ketika seekor banteng lewat di bawahnya, ia segera menembak dan tersungkurlah banteng tadi. Sang raja pun segera turun dengan maksud melihat dari dekat hasil buruannya.

Tidak disangka bahwa banteng tadi bangkit kembali dan menerjang sang raja sehingga tewas.

Baca Juga: Hidupnya Berubah Drastis Usai Dihubungi Seorang Wanita, Pria Berusia 23 tahun Ini Langsung Jadi Ayah dan Kakek di Waktu Bersamaan, Kok Bisa?

Diketahui, berburu memang sudah sejak lama menjadi kegemaran raja dan kaum bangsawan di Jawa.

Dari kitab Nagarakertagama gubahan Prapanca yang ditulis tahun 1365, diperoleh informasi bahwa raja Hayam Wuruk pernah beberapa kali menyelenggarakan acara berburu di hutan.

Hanya saja, tidak diketahui apakah pada jaman Majapahit itu juga sudah dikenal hutan suaka semacam Krapyak pada jaman Mataram.

Pada jaman Mataram sendiri acara berburu juga tidak hanya diadakan di dalam Krapyak saja, akan tetapi juga dalam hutan bebas. Hanya saja berburu dalam hutan bebas ini biasanya terbatas untuk jenis babi liar atau babi hutan.

Berziarah sambil berburu

Baca Juga: Lantaran Tradisi, Laki-laki dan Perempuan di Dua Desa Ini Tidak Boleh Saling Mencintai, Jika Melanggar Akan Ada Musibah yang Terjadi

Alasan mengapa daerah tersebut dipilih menjadi Krapyak, karena ibukota Mataram sebelum dipindahkan ke Kartasura adalah di Plered dan Kerto, yang letaknya berdekatan dengan Krapyak-krapyak tadi.

Selain itu, karena raja-raja Mataram mempunyai kebiasaan untuk menyepi dan bersemedi di gua-gua yang ada di pantai Selatan, guna meminta berkah dari Nyai Roro Kidul sebagai Penguasa Laut Selatan, agar dapat memimpin kerajaannya dengan baik.

Selama mereka bersemedi itulah kadang-kadang diadakan acara selingan berburu sebagai rekreasi.

Waktu ibukota Mataram dipindah ke Kartasura dan kemudian ke Surakarta, Krapyak-krapyak tadi tetap dipelihara meskipun jaraknya amat jauh. Itu karena kebiasaan untuk bersamadi tadi masih tetap dilakukan.

Terlebih, kebiasaan berziarah Raja Hayam Wuruk pada jaman Majapahit ke tempat-tempat keramat dan ke makam leluhur dinasti, masih dijalankan juga oleh raja-raja Mataram pada zamanKartasura dan Surakarta.

Baca Juga: Melompat Saat Akan Diculik, Siswi SMK Ini Dibuat Terkejut Saat Melirik Mobil Si Penculik, Ternyata Ini yang Ada di Dalamnya

Pada waktu acara ziarah ke makam leluhur dinasti itulah sering diseling dengan acara berburu di dalam Krapyak.

Berita tertua tentang perburuan semacam itu kita peroleh dari E. Rijkloff van Goens, duta VOC yang beberapa kali mengunjungi ibukota Mataram pada abad ke-XVII.

Pada tahun 1652 Van Goens pernah mengikuti acara berburu yang diadakan oleh Amangkurat I di sekitar muara sungai Opak.

la melukiskan tempat itu sebagai "… padang perburuan yang luasnya tak terkira dan dikelilingi pagar dari balok kayu jati. Di dalamnya terdapat ribuan rusa, kerbau liar, banteng, kuda liar serta hewan lainnya dimana orang dapat memburu mereka tanpa takut diterkam harimau atau digigit ular… "

Jadi jelaslah apa perbedaan antara Krapyak dengan hutan biasa. Di dalam Krapyak keadaannya dijaga sedemikian rupa agar supaya binatang-binatang buas seperti harimau tidak dapat masuk ke dalamnya demi menjaga kenikmatan para pemburu.

Baca Juga: Foto Lawas Keluarga Cendana Beredar di Media Sosial, Tampak Sekali Perbedaanya dengan yang Sekarang, Seperti Apa?

Perjalanan Amangkurat IV

Tujuan perjalanan sebenarnya untuk berziarah ke makam leluhur dinasti dilanjutkan dengan bersemedi ke pantai Selatan. Akan tetapi acara-acara selingan yang diselenggarakan Sunan Amangkurat IV cukup menarik untuk kita ketahui.

Rombongan berangkat pada pagi hari tanggal 3 September 1724, dikawal oleh ratusan perajurit Mataram, ratusan punggawa dan pemikul tandu, ratusan pelayan, ditambah dengan 75 orang serdadu Kompeni di bawah komandannya Letnan Hendrik Coster.

Dari ibukotaKartasura, rombongan bertolak diiringi tembakan salvo meriam dari arah benteng VOC sebagai penghormatan.

Sebagaimana diketahui, semenjak ibukota Mataram dipindahkan ke Kartasura, pihak VOC diijinkan mendirikan benteng di ibukota. Benteng ini dipimpin oleh seorang Kapten yang menjadi wakil VOC dengan jabatan Residen.

Baca Juga: Pernah Dibilang Tak Punya Sopan Santun oleh Iis Dahlia, Karier Penyanyi Muda Ini Justru Semakin Moncer Hingga Membuatnya Mampu Bangun Rumah Seharga Miliaran Rupiah

Waktu itu yang menjadi Residen adalah Kapten Simon Keesjong. Perwira ini bersama para Pembesar Mataram lainnya yang tidak turut dalam perjalanan, mengantarkan Sunan sampai di batas kota.

Setelah segala upacara basa-basi perpisahan di batas kota, Keesjong cs kembali ke ibukota. Dan bergeraklah rombongan Sunan, Ibu Suri, Permaisuri, Putera Mahkota dan para Pembesar di atas tandu semuanya, diiringi perajurit dan pelayan serta pasukan Kompeni.

Pawaiyang jumlahnya ribuan ini tentu saja merupakan tontonan cukup menarik bagi penduduk desa-desa yang dilalui. Rombongan berhenti dan mengaso untuk menginap berturut-turut di Delanggu dan Gondang, dua kota Kecamatan yang kini terletak di daerah Klaten.

Tanggal 5 September 1724 pagi, rombongan dipecah menjadi dua. Ibu Suri dengan sebagian rombongan bertolak menuju Kuto Anyar yang letaknya kira-kira di kota Yogyakarta sekarang, sedangkan Sunan dan rombongan menuju ke Karto Winoto, yaitu daerah Madu Gondo di sebelah Tenggara Yogyakarta sekarang.

Baca Juga: SKCK Prabowo Subianto Sempat Bocor di Media, Warganet Pertanyakan Kasus Penghilangan Aktivis 1998, Benarkah Menhan Tidak Memiliki Catatan Kriminal?

Di tempat ini Sunan tinggal selama 12 hari, karena dari sini dapat dikunjungi dengan mudah beberapa tempat ziarah, antara lain Kuto Gede tempat makam Kyai Gede Pemanahan leluhur dinasti, Panembahan Senopati atau Sutowijoyo pendiri Mataram, dan Sunan Anyokrowati atau Sunan Sedo Krapyak.

Sebagai selingan kegiatan ziarah inilah Sunan telah mengadakan beberapa acara rekreasi.

Tanggal 6 September, Sunan menyelenggarakan rekreasinya yang pertama. Para punggawa yang tugasnya memikul tandu, semua dikumpulkan di alun-alun. Mereka diharuskan bermain "Sodoran" atau "Senenan".

Permainan yang juga populer di Eropa pada abad pertengahan ini pada pokoknya adalah berusaha menjatuhkan lawan dari atas kuda yang dikendarainya dengan sebatang bambu.

Akan tetapi karena pertandingan kali ini dilakukan oleh para punggawa yang bukan tugasnya melakukan hal itu, maka terjadilah adegan lucu dan menggelikan.

Baca Juga: Tiap Bulan Bergaji 30 Juta Tapi Tak Bisa Menyimpan Harta, Ini Sederet Fakta Tersembunyi Kehidupan TKI Korea Selatan, Terjebak Kenyamanan Jadi Alasan

Letnan Coster melaporkan (dalam bahasa Belanda yang berlaku abad itu) bagaimana para punggawa tadi.

"… sonder zadels te paard sitten, en met groene bamboesen tournoijen, waardoor er al veele, als geen kennis daarvan hebbende, hol over bol de grond sogten, tot bijsonder vermaak van den vorst, die sig van lachen niet onthouden kon…"

(… mengendarai, kuda tanpa pelana, bertanding dengan bambu hijau dan karena tidak memiliki keahlian untuk pekerjaan itu, berjatuhan ke tanah, yang menyebabkan Raja begitu geli dan tertawa terbahak-bahak seolah-olah tak dapat berhenti .. ).

Acara lain, tentu saja, berburu. Tiga kali Sunan berburu di hutan tanpa Coster ikut serta.

la hanya melaporkan bahwa, tanggal 11 September, ia menerima kiriman 6 ekor babi hutan hasil buruan sehari sebelumnya.

Baca Juga: Nyaris Dipenjara 2 Kali, Inilah Sederet Fakta Masa Lalu Syahrini, Penyanyi Kondang yang Memiliki Penghasilan Rp 1 Miliar Sehari

Sementara, tanggal 12 September sore, ia menerima kiriman 6 ekor babi liar hasil buruan pagi harinya dan tanggal 16 September sore, ia menyaksikan iring-iringan Sunan pulang berburu dengan hasil buruan yang tak terhitung jumlahnya.

Tanggal 15 September ketika Sunan berburu di dalam Krapyak Pring Amba, Letnan Coster turut serta.

Diceritakannya bahwa, Sunan serta para pembesar lainnya duduk di atas joli yang dipasang di punggung kerbau.

Mereka menanti berderet-deret dengan jarak berjauhan. Kemudian para perajurit dan punggawa menghalau hewan dari arah kiri dan kanan tempat pemburu-pemburu itu menanti, dengan jalan berteriak-teriak dan memukul-mukul kentongan.

Begitu hewan yang terkejut itu berlarian ke arah Sunan, mulailah para pemburu menunjukkan kemahiran masing-masing. Ada yang menembak dengan senapan, ada yang mempergunakan panah dan ada pula yang memakai lembing.

Hari itu telah dibantai tidak kurang dari 130 ekor rusa, 5 ekor banteng, dan 6 ekor sapi liar.

Baca Juga: Hanya Bisa Tercengang, Pria Ini Temukan Bongkahan Emas Seberat 87 Gram, Para Ahli Menilai Harganya Bisa Mencapai Satu Miliar Rupiah

Di sambut banteng depan pasanggrahan

Tanggal 17 September perjalanan dilanjutkan ke Imogiri dan berkumpul kembali dengan rombongan Ibu Suri yang sudah lebih dahulu tiba dari Kuto Anyar. Dua hari lamanya acara ziarah di sini. Sesudah itu perjalanan dilanjutkan ke daerah Gading di muara sungai Opak.

Begitu tiba, Sunan memerintahkan perajurit-perajuritnya untuk menjelajah hutan-hutan dan menghalau hewan buruan yang ditemui ke arah Krapyak di sisi Barat sungai. Menurut perhitungan Coster sesudahnya, di dalam Krapyak itu terkumpul 500 ekor banteng, kerbau liar, dan sapi liar, serta kira-kira 1300 ekor rusa.

Tiga hari berikutnya Sunan bersemedi di dalam gua di pantai Selatan, sementara Coster dengan beberapa anak-buahnya menanti dalam kemah di tepi pantai.

Ketika tanggal 21 September pagi, Coster keluar dari dalam kemahnya, ia melihat Sunan sedang duduk memancing di pantai. Karena hasilnya tidak banyak, Sunan mengajak Coster kembali ke pasanggrahan.

Baca Juga: Hanya Bisa Tercengang, Pria Ini Temukan Bongkahan Emas Seberat 87 Gram, Para Ahli Menilai Harganya Bisa Mencapai Satu Miliar Rupiah

Ternyata di depan Pasanggrahan sudah menanti seekor banteng buas yang diikat pada tonggak kayu. Sunan memerintahkan para pembesar untuk menjadikan banteng itu sebagai sasaran latihan memanah.Setelah puas barulah Sunan mengangkat senapannya dan menembak banteng itu sampai tewas.

Tanggal 23 September diadakan lagi acara "Sodoran". Kali ini pertandingan benar-benar dilakukan oleh para perajurit yang mahir. Namun ketika acara hampir selesai, tanpa sepengetahuan siapapun, Sunan memerintahkan melepas ratusan ekor babi-liar ke tengah arena.

Tentu saja terjadi kepanikan luar-biasa, baik di kalangan para penonton maupun mereka yang sedang bertanding. Kuda-kuda menjadi binal, para penonton berserabutan lari kian-kemari. Mereka saling tubruk, berebut memanjat pohon, terjatuh berguling-guling, sementara Sunan dan para pembesar dari arah tribun tertawa puas menyaksikannya.

Akhirnya Sunan memerintahkan anak-buah Coster menghalau babi-babi itu ke arah Krapyak, suatu tugas yang cukup sulit bagi serdadu Kompeni itu.

Keesokan harinya Sunan berburu ke seberang Timur sungai. Kali ini juga Coster tidak turut. la hanya melaporkan bahwa tanggal 25 September siang, ia menerima kiriman 30 ekor rusa dan 10 ekor banteng untuk konsumsi anak-buahnya.

Baca Juga: Selalu Merasa Superior, Pasukan Militer Israel Tiba-tiba Menjadi Ketakutan Saat Hadapi Serangan Sniper Hamas, Ternyata Ini Alasannya

Tanggal 28 September adalah hari terakhir Sunan di daerah pantai Selatan. Hari itu diselenggarakan acara berburu dalam Krapyak sebelah Timur sungai. Letnan Coster pun turut serta.

Karena banyaknya hewan yang dibantai hari itu, Coster tidak dapat menghitung jumlahnya. Ia menyebutkan bahwa, hasil buruannya akan cukup untuk bekal seluruh anggota rombongan yang ribuan itu sampai mereka kelak tiba kembali di Kartosuro.

Tanggal 29 September, Sunan menuju kembali ke Karto Winoto, di mana keesokan harinya ia masih mengajak Coster berburu babi liar di hutan. Kali ini mereka semua mengendarai kuda diiringkan oleh anjing pemburu. Ketika sore harinya kembali ke pasanggrahan, telah dibawa hewan buruan sebanyak 110 ekor.

Tanggal 1 Oktober adalah hari terakhir Sunan "dirantau" sebelum kembali ke Kartasura. Hari itu diadakan acara "Rampokan".

Baca Juga: Di Balik Pembentukan Sat-81 Kopassus, Ada Luhut Panjaitan dan Prabowo Subianto yang Terlebih Dahulu Harus Menempuh Pendidikan Antiteror Super Keras di Jerman

Sebuah sangkar berisi harimau diletakkan di tengah alun-alun. Di sekeliling sangkar ditimbun kayu untuk dibakar, sementara sangkar dibuka.

Si raja hutan yang takut pada api segera keluar dari sangkar dan berusaha melompati api-unggun. Namun di sekeliling api unggun itu telah berbaris bersaf-saf para perajurit Mataram dengan tombak terarah pada sang harimau. Sebuah adegan yang benar-benar dramatis, karena segala sesuatu mungkin terjadi. Harimau yang berhasil melompati api unggun berusaha menerobos barisan tombak.

Kadang-kadang ia menyeruduk di antara kaki para perajurit, kadang- kadang ia berusaha melompatinya. Dengan tubuh penuh luka, harimau semakin ganas, sehingga seringkali para perajurit terkena goresan kuku-kukunya.

Acara ini baru berhenti kalau sang raja hutan akhirnya tewas di ujung tombak atau tewas ditembak karena ia berhasil lolos dari kepungan.

Baca Juga: Nekat Hajar Suaminya yang Mengidap Stroke Menggunakan Tongkat, Wanita Ini Nyatanya Hanya Istri Kedua Korban, Pernikahan Mereka Juga Belum Terdaftar Secara Hukum

Tanggal 2 Oktober Sunan dan rombongan mulai bergerak kembali ke ibukota. Di batas kota rombongan disambut oleh Residen Keesjong dan para pembesar kerajaan lainnya.

Dan, akhirnya, tanggal 3 Oktober 1724 jam 09.00 pagi Sunan tiba kembali di keraton disambut dengan tembakan salvo meriam dari arah benteng VOC sebagai penghormatan dan ucapan selamat datang.

(Ditulis oleh A.S. Wibowo. Seperti pernah dimuat di MajalahIntisariedisi November 1976)

Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul "Polah 'Sadis' Raja-raja Mataram di Sela-sela Ritual Meminta Berkah dari Nyai Roro Kidul"

(*)

Source :Intisari Online

Editor : Grid Hot

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

Popular

Tag Popular

x