Dari buku 'Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando' karya Hendro Subroto, kisah penyerahan diri pimpinan KKB Papua ini berawal saat Sarwo Edhie Wibowo menjabat sebagai panglima Kodam XVII/Tjendrawasih (1968-1970).
Sarwo Edhie Wibowo saat itu mau tak mau harus menghadapi sepak terjang KKB Papua pimpinan Lodewijk Mandatjan.
Dalam menghadapi aksi teror KKB Papua saat itu, Sarwo Edhie Wibowo memadukan operasi tempur dengan operasi non tempur.
Menurutnya, strategi non tempur digunakan lantaran ia menganggap para KKB Papua masih merupakan saudaranya sebangsa dan setanah air.
"Kalau pemberontak kita pukul terus menerus, mereka pasti hancur."
"Tetapi mereka adalah saudara-saudara kita. Baiklah mereka kita pukul, kemudian kita panggil agar mereka kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi," kata Sarwo Edhie Wibowo.
Untuk menghindari terjadi pertumpahan darah yang lebih banyak, Sarwo Edhie Wibowo memerintahkan melakukan penyebaran puluhan ribu pamflet yang berisi seruan agar KKB Papua kembali ke NKRI.
Sarwo Edhie Wibowo kemudian memberi tugas kepada perwira RPKAD Mayor Heru Sisnodo dan Sersan Mayor Udara John Saleky untuk menemui pimpinan KKB Papua yang bernama Lodewijk Mandatjan.
Tujuannya adalah membujuk agar Mandatjan beserta anak buahnya mau kembali lagi ke pangkuan NKRI.