Adapun undergroud explotion ini bisa atau tidak selalu diikuti erupsi gunung api.
"Ini masih perlu mendapat dikaji dengan data kegempaan serta perubahan temperatur dan pelepasan gas dari gunung-gunung di sekitar Jabodetabek juga Gunung Anak Krakatau," ujarnya dalam siaran pers Humas ITB, Minggu (12/4).
Hipotesis tersebut, menurut dia, berdasarkan peristiwa serupa yang terjadi di tiga gunung api di tiga negara, yakni Gunung Api Miyakejima Jepang (tahun 2000), Gunung Piton de La Fournaise Pulau Reunion (2007), dan gunung di Kepulauan Mayotte Prancis (2018).
Dosen Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB ini memastikan bahwa dugaan dirinya itu masih perlu dikaji dan dibuktikan, utamanya kaitannya hubungan dengan erupsi Gunung Anak Krakatau, Jumat lalu.
Berlokasi di Selat Sunda Provinsi Lampung, Gunung Anak Krakatau berada di antara Pulau Panjang, Sertung, dan Pulau Rakata.
“Letusan Gunung Anak Krakatau termasuk tipe 'strombolian' dan 'vulkanian' yang memiliki energi letusan tergolong rendah hingga sedang,” ujar dia.
Berdasarkan data Volcanic Explosivity Index (VEI), Gunung Anak Krakatau memiliki nilai VEI 2-3, yang artinya tergolong rendah hingga sedang.
Menurut Mirzam, Gunung Anak Krakatau baru muncul ke permukaan sejak tahun 1927.
Dan sejak tahun tersebut, Gunung Anak Krakatau tumbuh besar.