Gridhot.ID-Telah 2 tahun berlalu sejak penarikan AS dari perjanjian nuklir Iran, yang disebut Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA).
AS menarik dari perjanjian tersebut pada Mei 2018, dan sekarang nasib masa depan ikatan Teheran dan Iran sedang dipertaruhkan.
Perlu diingat, AS akan mengalami pemilihan presiden pada November mendatang.
Trump telah terapkan tekanan maksimum terhadap Iran dan melumpuhkan perjanjian JCPOA.
Melihat hal ini, kandidat Demokrat yaitu Joe Biden dianggap bisa membawa perubahan besar di kebijakan Iran oleh Washington berupa de-eskalasi dan pengenduran.
Publik saat ini lebih memfavoritkan kandidat presiden Demokrat Joe Biden, dan banyak yang berharap kemenangannya November mendatang dapat membuka jendela baru untuk kesempatan mengurangi ketegangan dengan Iran hingga akhirnya menyelamatkan perjanjian nuklir.
Namun, benarkah semudah itu? Benarkah pemimpin Iran bisa melunak hanya karena presiden AS ganti?
Kenyataannya hanya sedikit warga Teheran yang optimis terhadap pendekatan ini.
Banyak warga Teheran merasa baik Demokrat maupun Republik tidak mampu melakukan negosiasi seperti yang diharapkan Iran.
Kesepakatan yang dilakukan oleh Mantan Presiden Barack Obama telah mengecewakan Iran cukup dalam, dan itu membuat pejabat Iran akan terapkan kewaspadaan tinggi dan pengecekan latar belakang dalam mengadapi Presiden AS yang pro-diplomasi.
Dengan kata lain, justru menghadapi Iran setelah pemerintahan Trump akan lebih sulit daripada menghadapi Iran sebelum pemerintahan Trump, bahkan walau Teheran sudah menerima pengurangan tekanan ekonomi AS.
Dalam pidato paling barunya pada 31 Juli lalu, Perdana Menteri Ayatollah Ali Khamenei mengulangi ucapannya yang menolak negosiasi dengan AS.
"Negosiasi berarti mengabaikan kekuatan regional kita, industri nuklir dan kekuatan militer, jika kita lakukan itu semua, akan ada sanksi," ujarnya.
Penjelasan Khamenei menyangkup alasan kunci strategis di balik alasannya menolak diskusi dengan AS.
Baca Juga: Beredar Foto Jerinx SID di dalam Bui, IDI Bali Ngaku Mengapresiasi Langkah Polisi
Dalam bahasanya, bahkan walaupun Teheran patuh dengan permintaan Washington, AS tetap akan melunjak dan menuntut hal baru.
Khamenei tidak secara langsung sebutkan Biden atau partai Demokrat AS, tapi orang-orang di sekitarnya yang lebih berani berbicara sebutkan nama-nama itu.
Koran konservatif Iran Kayhan, yang berhubungan dengan kantor para pemimpin, telah tekankan kondisi Biden untuk kembali ke JCPOA tidak jauh berbeda dengan tuntutan Trump.
Koran tersebut juga sebutkan bahwa Demokrat berniat untuk gunakan readopsi JCPOA sebagai cara membujuk Iran untuk mendukung AS.
Sudut pandang yang sama disampaikan oleh koran lokal Raja News, dan mendesak perhatian lebih kepada pemberitahuan bahwa "penarikan Trump dari perjanjian nuklir dulunya berdasarkan dengan kondisi politik yang diwariskan oleh presiden sebelumnya."
Media yang didukung pemerintah mengkritik habis-habisan para pelaku reformasi yang telah berperan sebagai "pangkalan" dukungan untuk kandidat presiden AS Biden.
Namun memang ada pelaku reformasi dan media moderat yang menerima partai Demokrat dengan optimisme berlebihan.
Pelaku reformasi lainnya tidak menerima rencana Biden untuk diplomasi dengan Iran secara umum.
"Strategi Demokrat bukanlah pengembalian tanpa kondisi kepada JCPOA, tapi membuat perubahan penting dalam kebijakan domestik dan luar negeri," disebut oleh jurnalis pelaku reformasi dan mantan tahanan politik Ahmad Zeidabadi.
Bahkan, Abbas Abdi, pemimpin intelektual untuk kamp reformist, justru sebutkan "kebijakan Trump jauh lebih baik daripada yang ditawarkan Demokrat, melihat, dari semua hal lain, administrasinya tidak lakukan intervensi militer langsung" di negara mereka.
Iran sekarang sudah waspada, sinis dan tidak berharap banyak dalam kemampuan membujuk administrasi Biden.
Alasan lainnya adalah pada 9 Agustus, anggota blok enam negara Dewan Kooperasi Teluk (GCC) menulis surat ke Dewan Keamanan PBB, yang sebutkan inisiatif AS untuk memperpanjang mandat PBB embargo senjata yang telah mencegah Teheran dari mengimpor dan mengekspor senjata.
Embargo ini akan hangus pada Oktober, sebagaimana halnya dengan JCPOA.
China dan Rusia menggunakan hak veto mereka untuk menolak perpanjang embargo tersebut, kemungkinan besar karena keduanya sedang berusaha bersekutu dengan Iran.
Jika embargo senjata tidak diperpanjang, administrasi Trump kemungkinan akan mencari mosi baru berupa rencana B untuk menghentikan kesepakatan itu sekali dan untuk selamanya dan mengaktifkan mekanisme yang memberlakukan kembali semua resolusi sanksi PBB sebelumnya terhadap Teheran yang dibatalkan berdasarkan kesepakatan nuklir.
Memang terdengar mengerikan, tapi Iran lebih bisa mengatasi hal tersebut dengan meningkatkan sekutunya dengan China dan Rusia dan perkuat poros timur.
Terlepas dari politik dan ancaman yang ada, Iran diperkirakan akan menggunakan peluang apa pun selain kompromi besar untuk mengamankan keringanan sanksi dari pemerintahan Demokrat di Washington dan sekutunya di Eropa.
Penasihat senior kebijakan luar negeri Biden, Jake Sullivan, mengusulkan mencabut sanksi nuklir AS dengan imbalan kembalinya Teheran ke "sejumlah komitmen mereka".
Hal ini mungkin menarik bagi pemimpin Iran, yang selama ini menghindari sumber ketegangan non-nuklir.
Niat Sullivan adalah memperbaiki diplomasi regional, sehingga jika sanksi nuklir Iran diangkat, maka Iran bersedia memperbaiki hubungan dengan Arab Saudi dan negara-negara Arab Sunni lainnya.(*)
Artikel ini telah tayang di Intisari-Online.com dengan judul "Lupakan China, Musuh Abadi AS Rupanya Negara Timur Tengah yang Kembangkan Nuklir Ini: Bahkan Jika Bukan Trump Presidennya, Masih Bisa Selalu Tegang"