Iran sekarang sudah waspada, sinis dan tidak berharap banyak dalam kemampuan membujuk administrasi Biden.
Alasan lainnya adalah pada 9 Agustus, anggota blok enam negara Dewan Kooperasi Teluk (GCC) menulis surat ke Dewan Keamanan PBB, yang sebutkan inisiatif AS untuk memperpanjang mandat PBB embargo senjata yang telah mencegah Teheran dari mengimpor dan mengekspor senjata.
Embargo ini akan hangus pada Oktober, sebagaimana halnya dengan JCPOA.
China dan Rusia menggunakan hak veto mereka untuk menolak perpanjang embargo tersebut, kemungkinan besar karena keduanya sedang berusaha bersekutu dengan Iran.
Jika embargo senjata tidak diperpanjang, administrasi Trump kemungkinan akan mencari mosi baru berupa rencana B untuk menghentikan kesepakatan itu sekali dan untuk selamanya dan mengaktifkan mekanisme yang memberlakukan kembali semua resolusi sanksi PBB sebelumnya terhadap Teheran yang dibatalkan berdasarkan kesepakatan nuklir.
Memang terdengar mengerikan, tapi Iran lebih bisa mengatasi hal tersebut dengan meningkatkan sekutunya dengan China dan Rusia dan perkuat poros timur.
Terlepas dari politik dan ancaman yang ada, Iran diperkirakan akan menggunakan peluang apa pun selain kompromi besar untuk mengamankan keringanan sanksi dari pemerintahan Demokrat di Washington dan sekutunya di Eropa.
Penasihat senior kebijakan luar negeri Biden, Jake Sullivan, mengusulkan mencabut sanksi nuklir AS dengan imbalan kembalinya Teheran ke "sejumlah komitmen mereka".
Hal ini mungkin menarik bagi pemimpin Iran, yang selama ini menghindari sumber ketegangan non-nuklir.
Niat Sullivan adalah memperbaiki diplomasi regional, sehingga jika sanksi nuklir Iran diangkat, maka Iran bersedia memperbaiki hubungan dengan Arab Saudi dan negara-negara Arab Sunni lainnya.(*)
Artikel ini telah tayang di Intisari-Online.com dengan judul "Lupakan China, Musuh Abadi AS Rupanya Negara Timur Tengah yang Kembangkan Nuklir Ini: Bahkan Jika Bukan Trump Presidennya, Masih Bisa Selalu Tegang"
Komentar